AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Sekitar 2 miliar dolar AS (Rp 29,6 triliun) telah diinvestasikan dalam mengembangkan daging rekayasa laboratorium. Daging tersebut diyakini bisa menjadi solusi atas kebutuhan akan konsumsi daging yang sekaligus menjaga iklim.
Namun, penelitian dari University of California menantang argumen ekologis yang sering mendukung legitimasi penelitian semacam ini. Faktanya, daging yang dibudidayakan di laboratorium bisa jadi 25 kali lebih berbahaya bagi planet ini daripada daging sapi biasa.
Kesimpulan mengejutkan ini, yang meruntuhkan salah satu argumen utama perusahaan rintisan yang terlibat dalam budidaya daging rekayasa laboratorium, merupakan hasil analisis yang mengukur jumlah karbon dioksida yang dihasilkan oleh daging yang dibudidayakan.
Beberapa langkah dalam proses pembuatannya memang bermasalah. Pertama, kebutuhan akan gula, vitamin, asam amino, garam dan faktor pertumbuhan untuk merangsang produksi sel punca. Dan yang terpenting, tahap ekstraksi dan pemurnian yang dilakukan dengan bantuan bioreaktor yang sangat boros energi.
Batasan argumen ekologis untuk daging yang dibudidayakan di laboratorium sebenarnya telah dibahas oleh para ilmuwan di Oxford University, demikian seperti dilansir dari Malay Mail pada Ahad (14/5/2023). Pada tahun 2019, penelitian mereka memodelkan potensi dampak pemanasan dari metode produksi daging sapi yang dibudidayakan di laboratorium dan metode produksi daging sapi biasa selama 1.000 tahun ke depan.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa meskipun mengurangi emisi metana dari sapi akan bermanfaat bagi iklim, namun hanya dengan mengganti metana tersebut dengan karbon dioksida yang dihasilkan dari kebutuhan energi yang signifikan dari industri daging yang dibudidayakan, pada akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi yang merugikan dalam jangka panjang.
Menurut para ilmuwan, proses yang lebih efisien dan penggunaan sumber energi berkelanjutan yang lebih besar dapat mengurangi dampak ini.