Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ulfiatun Nadiroh

Konsumsi Rokok Orang Miskin di Indonesia Lebih tinggi Dibanding Protein

Gaya Hidup | Monday, 09 Oct 2023, 06:06 WIB
Konsumsi Rokok Orang Miskin di RI lebih tinggi Dibanding Protein, ini buktinya.
Konsumsi Rokok Orang Miskin di RI lebih tinggi Dibanding Protein, ini buktinya.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan fakta bahwa konsumsi rokok rumah tangga miskin di Indonesia menjadi yang terbesar kedua setelah konsumsi beras. Hal ini yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah mengerek cukai rokok di tahun depan.

“Konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin, yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan," katanya, Kamis (3/11/2022).

Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” lanjut Sri Mulyani.

Menurut Professor Standford University, Keith Humphreys, menulis kepada Washington biang masalahnya adalah lingkungan. Orang-orang kaya perokok memiliki peluang lebih besar mendapat dukungan lingkungan untuk berhenti merokok. Jika berniat untuk berpaling dari tembakau, maka mereka bisa masuk dalam jaringan pertemanan yang sehat. Kesulitan menemukan lingkungan yang mendukungnya terlepas dari rokok. Akibatnya mereka terus merokok dan menjadi candu.

Selanjutnya, Keith juga mengaitkan masalah ini dengan depresi. Merokok membuat tubuh manusia merasakan efek dopamin sehingga lebih bahagia, tenang, dan senang. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang kelas bawah untuk mendapat kebahagiaan berlebih. Jadilah mereka akan terus merokok agar terlepas dari depresi.

"Mereka juga mungkin menghadapi tantangan dalam mengakses perawatan untuk masalah kesehatan mental yang terjadi bersamaan (misalnya, depresi) yang membuat berhenti merokok menjadi lebih sulit," katanya.

Mereka tidak menampik kalau lingkungan dan faktor ekonomi menjadi biang masalah peningkatan konsumsi rokok di kalangan orang miskin. Namun, faktor ini jangan sampai melupakan pengaruh dari perusahaan rokok itu sendiri.

Hal itulah yang menurut Sri Mulyani menjadi salah satu pertimbangan pemerintah saat menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Pertimbangan lain adalah pemerintah ingin mengendalikan konsumsi maupun produksi rokok. Sri Mulyani berharap kenaikan cukai rokok dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat.

“Pada tahun-tahun sebelumnya, di mana kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” jelas Sri Mulyani.

Sekadar informasi, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024.

Selain itu, diputuskan juga mengatrol tarif cukai rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Kenaikan tarif cukai ini akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.

“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik, yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,” imbuh Sri Mulyani.


Oleh: Ulfiatun Nadiroh (Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah UIN KH Achmad Shiddiq Jember)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image