Ahad 20 Jul 2025 06:08 WIB

Stop Lihat Berita Negatif Pas Baru Bangun dan Mau Tidur, Ini Alasannya

Membuka hari dengan berita negatif dapat memicu stres sejak pagi.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Stres karena sering mengonsumsi berita negatif (ilustrasi). Masyarakat diingatkan untuk tidak menjadikan berita sebagai santapan pertama pada pagi hari atau sebelum tidur.
Foto: Pxfuel
Stres karena sering mengonsumsi berita negatif (ilustrasi). Masyarakat diingatkan untuk tidak menjadikan berita sebagai santapan pertama pada pagi hari atau sebelum tidur.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Di era digital yang dipenuhi arus informasi tanpa henti, masyarakat semakin rentan mengalami beban psikologis akibat paparan berulang terhadap berita-berita negatif. Korupsi, ketidakadilan, krisis iklim, hingga kejahatan menjadi konsumsi harian yang dapat berdampak serius pada kesehatan mental.

Menghadapi kondisi tersebut, psikolog dari IPB University Nur Islamiah, mengingatkan masyarakat untuk tidak menjadikan berita sebagai santapan pertama pada pagi hari atau sebelum tidur. Menurutnya, pada dua waktu tersebut, otak berada dalam kondisi paling rentan terhadap pengaruh emosional.

Baca Juga

"Membuka hari dengan berita negatif dapat memicu stres sejak pagi, sementara mengaksesnya sebelum tidur dapat mengganggu kualitas istirahat dan memperburuk kecemasan," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Ahad (20/7/2025).

Nur menjelaskan, tanpa disadari, banyak orang mengalami kondisi yang dalam psikologi dikenal sebagai media saturation overload. Ini adalah keadaan di mana otak dan emosi menjadi terlalu jenuh akibat paparan terus-menerus terhadap berita negatif, khususnya dari media sosial.

"Fenomena ini bukan sekadar kejenuhan sesaat. Paparan konstan terhadap berita negatif menciptakan siklus stres psikologis: semakin sering menyimak berita buruk, semakin tinggi kecemasan yang dirasakan, dan semakin sulit bagi pikiran untuk pulih dan merasa tenang," ujar Nur.

Kelompok usia remaja dan dewasa awal disebut sebagai populasi yang paling rentan terhadap dampak tersebut. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat konsumsi media sosial di kalangan usia ini dibanding kelompok usia lainnya.

Meski demikian, Nur menekankan bahwa masyarakat tetap memiliki kendali terhadap informasi yang dikonsumsi. Misalnya mengatur frekuensi membaca berita hingga memilih sumber yang kredibel.

la juga menyarankan adanya jeda perhatian dari media, yang dapat diisi dengan aktivitas pendukung kesejahteraan psikologis seperti olahraga ringan, berbincang dengan keluarga, atau sekadar beristirahat untuk mengurangi penat. "Yang tidak kalah penting adalah menerima bahwa diri tidak harus selalu tahu segalanya. Dengan begitu, kita memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas di tengah derasnya arus informasi yang tak selalu ramah bagi jiwa," kata Nur.

 

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement