Psikolog Toetiek Septriasih mengatakan pada dasarnya banyak orang menyukai kegemerlapan. Oleh karena itu, kegemerlapan, seperti rumah yang megah, kerap dihadirkan dalam beragam tayangan sinetron.
"Karena itu fantasi, imajinasi. Tapi dulu itu hanya di sinetron yang kita tahu cuma skenario, jadi kita tidak begitu terganggu," ujar Toetiek kepada Republika melalui sambungan telepon, Rabu (1/3/2023).
Namun, saat ini, kemegahan kerap dihadirkan melalui media sosial oleh berbagai orang. Berbeda dengan sinetron yang fiksi, konten gemerlap yang hadir di media sosial terlihat lebih nyata.
"(Warganet mungkin bisa berpikir) dia umur 21 tahun bisa beli mobil, aku ngekos Rp 300 ribu sudah pusing, padahal sama umurnya," ujar Toetiek mencontohkan.
Bila paparan konten-konten flexing memunculkan rasa insecure seperti ini, Toetiek menilai, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar warganet bisa merasa lebih baik. Satu di antaranya adalah dengan meng-unfollow kreator konten yang kerap membuat konten flexing.
"Itu yang pertama. Jadi, bersih-bersih akun. Kita unfollow," kata psikolog yang akrab disapa Jeng Toet tersebut.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah menerapkan prinsip stoikisme. Artinya, alih-alih berfokus pada hal di luar kendali, warganet bisa berfokus pada hal-hal yang dapat mereka kendalikan. Salah satunya adalah respons diri.
"Dua hal itu aja dilakukan, itu cukup efektif untuk memfilter, melawan, badai flexing," ujar Toetiek.