AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Upselling produk menjadi salah satu topik yang dibicarakan di media sosial (medsos). Hal ini sebagai buntut curhatan warganet yang mengalami upselling iPhone di salah satu toko Er*fone di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Apakah upselling boleh dan wajar dilakukan?
Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo mengatakan, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak atas informasi dan juga hak pilih. YLKI melakukan evaluasi dan analisa mengenai upselling, apakah memang upselling diinformasikan kepada konsumen dan juga menjadi opsi, menjadi pilihan, bukan menjadi paksaan.
Pertama mengenai informasi, apakah upselling ini diinformasikan kepada konsumen ketika ada produk tambahan atau ada suatu penambahan harga atau ada produk lain, di mana harga pokok ditambahkan dengan harga tambahan berikutnya, apakah sepertujuan konsumen, apakah sudah diinformasikan kepada konsumen setuju atau tidaknya. Barulah masuk ke hak pilihan, jika setuju atau tidak setuju, tentu ini menjadi pilihan bagi konsumen bukan paksaan.
"Itu adalah menjadi opsi untuk konsumen bukan paksaan bahwa konsumen harus menambah membeli ini, membeli produk ini, tambahan ini, sehingga itu secara tidak langsung kenaikan harga secara terselubung, melihat tidak diinformasikan kepada konsumen dan tidak menjadi opsi bagi konsumen dalam hal memilih atau membeli suatu produk," ujar Rio kepada Republika.co.id, Jumat (15/9/2023).
Menurut Rio, kasus seperti ini, belum banyak pengaduannya di YLKI. Karena hanya segelintir (satu atau dua) saja, tidak banyak konsumen bersuara. Mereka lebih memilih meramaikan atau memviralkan di media sosial.
Dia mengatakan, jika terjadi upselling terselubung, ada dua hal yang patut diperhatikan. Apakah upselling ini memang perintah manajemen atau kesalahan sumber daya manusia (SDM) itu sendiri. Bisa jadi, SDM itu melakukan itu atas perintah, sepengetahuan, dan ada SOP dari manajemen.
"Kalau tidak ada SOP dari manajemen dan mereka bertindak sendiri, dan melakukan penjualan upselling tanpa sepengetahuan manajemen, tentunya ini ada proses bisnis yang menyalahi aturan," ujarnya.
Dari perusahan sudah menetapkan proses bisnis, namun tidak dijalankan karyawannya. "Itu adalah kesalahan karyawannya, itu adalah kesalahan prosedur," ujarnya. Namun, Rio mengatakan harus dilihat lebih jauh apakah itu perintah dari manajemen bukan keinginan SDM itu sendiri.
Menurut Rio, pihak store harus melakukan tindakan jika terbukti itu adalah kecurangan yang dilakukan SDM atau karyawannya. Pertama bisa tindakan administratif, kedua bisa sampai pada sanksi pemecatan. "Tentunya teguran-teguran itu bisa menimbulkan efek jera sehingga dalam mencapai proses bisnis atau menjualkan suatu produk, mereka harus jujur," ujarnya.
Rio mengatakan, jujur menjadi kredibilitas dan membuat konsumen menjadi loyal. "Kalau ternyata tidak jujur dan sebagainya, ini akan menjadi permasalahan baru, sengketa upaya perlindungan konsumen," ujarnya.
Dia mengatakan, dampak dari upselling terselubung pada store bisa menurunkan minat pembelian dan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap suatu pelaku usaha yang menjual suatu produk. Rio mengatakan untuk menghindari terjadinya upselling terselubung, store harus memberikan pendidikan pada karyawan, mulai dari pendidikan sebelum kerja ke lapangan saat pelatihan atau training, apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan.
Selain itu, edukasi juga perlu dilakukan ketika mereka sudah bekerja, maka harus ada suatu pengawasan, bisa secara periodik, atau secara tidak langsung berdasarkan laporan. Store juga bisa membuka ruang partisipasi publik misalnya ruang pengaduan konsumen untuk mengadu.
"Tiga hal ini bisa dilakukan antisipasi manajemen untuk menghindari ada oknum-oknum yang melakukan upselling tanpa sepengetahuan atau sepersetujuan konsumen itu sendiri," ujarnya.