AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Mengutip laporan terbaru, pakaian yang dikaitkan dengan kerja paksa Uighur dikatakan memasuki pasar Uni Eropa dalam jumlah besar. Para aktivis menyoroti kurangnya pemeriksaan yang memadai dari Uni Eropa untuk menghilangkan kerja paksa dari rantai pasokan besar.
Merek-merek terkenal seperti H&M dan Zara diidentifikasi memiliki risiko tinggi dalam mendapatkan bahan baku, khususnya kapas dan PVC, yang dikerjakan oleh warga Uighur yang dipaksa berpartisipasi dalam program pemindahan tenaga kerja yang diberlakukan negara.
Para peneliti yang terlibat dalam laporan dari Uyghur Rights Monitor, Universitas Sheffield Hallam, dan Pusat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Uighur melakukan penyelidikan terhadap empat perusahaan pakaian terkemuka Tiongkok yang memiliki keterkaitan signifikan dengan Xinjiang.
Perusahaan-perusahaan ini memasok merek-merek barat terkenal seperti Zara dan Primark. Xinjiang, wilayah di barat laut Tiongkok, memiliki kontribusi besar dalam produksi kapas Tiongkok, tapi juga dikenal karena laporan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk program pemindahan tenaga kerja yang disponsori negara yang menurut aktivis Uighur memiliki risiko pemaksaan tinggi.
Beberapa perusahaan China terlibat dalam program ini, seperti Grup Tekstil Guanghua Beijing yang memiliki hubungan dengan Teknologi Tekstil Xinjiang Jinghe. Pada 2018, Xinjiang Jinghe melaporkan investasi besar untuk mempekerjakan ribuan orang melalui program pemindahan tenaga kerja.
Perusahaan induk Beijing Fashion Holdings juga terlibat dalam hubungan dengan merek barat terkenal. Meskipun Inditex, perusahaan induk Zara, menyatakan tidak lagi membeli produk dari Beijing Guanghua Textile Group atau Beijing Fashion Holdings, para peneliti menyatakan perlunya investigasi menyeluruh terhadap rantai pasokan.
Sementara Inditex dan H&M menegaskan komitmen mereka terhadap mematuhi hak asasi manusia, perwakilan Primark mengkonfirmasi penggunaan Anhui Huamao Group Co Ltd dalam rantai pasokan mereka dan menanggapi dengan menghentikan sementara penggunaan fasilitas tersebut dalam penyelidikan.
Laporan ini disusun atas perintah dari anggota parlemen Eropa, Raphaël Glucksmann yang menekankan perlunya perubahan dalam penilaian perusahaan berbasis di daratan Tiongkok terkait isu kerja paksa Uighur. Upaya regulasi dan pemantauan yang lebih ketat diharapkan untuk mencegah masuknya produk-produk yang terkait dengan kerja paksa ke pasar Uni Eropa.