AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Aktor Dimas Anggara memerankan sosok Lafran Pane, tokoh pendiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bagi Dimas, ini peran yang sangat menantang. Terlebih itu menjadi pengalaman baru baginya.
Untuk pendalaman karakter, Dimas melakukan riset melalui buku maupun banyak diskusi. Dimas juga melakukan ziarah ke makam Lafran Pane.
"Diskusi bersama adik, anak beliau, dan director kita, dari Googling juga saya lakukan dan ziarah dari tempat syuting ke pemakanan delapan menit, saya lakukan pagi, malam, dan pagi malam," kata Dimas dalam konferensi pers di Epicentrum, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Dimas mengakui, awalnya dia berpikir akan mudah melakukan riset. Tetapi ternyata sangat susah. Untungnya, dia terbantu dengan banyak diskusi bersama keluarga Lafran Pane.
Alasan Dimas menerima tawaran memerankan sosok Lafran Pane cukup sederhana. Menurut dia, dengan karakter teladan seperti sosok Lafran Pane, justru ia bisa menyesal jika tidak menolak tawaran bermain di film Lafran tersebut.
Sebelum membintangi film ini, Dimas perlu terlebih dulu menaikkan berat badanya sekitar 15 kilogram. Hal ini tentu tidak lepas dari tuntutan mendekati gambaran fisik karakter Lafran Pane.
Adapun banyak inspirasi dan pelajaran yang Dimas ambil dari memerankan sosok Lafran. Menurut aktor 35 tahun itu, di era tersebut, sosok Lafran juga telah memberikan contoh menciptakan hidup secara demokratis.
Sinopsis film Lafran
Lafran, ditinggal dua perempuan tercinta. Ibunya meninggal saat Lafran berusia dua tahun. Berikutnya, neneknya. Kehilangan dua "ibu" bagi Lafran seperti kehilangan kemudi. Ayahnya, Sutan Pangurabaan, tokoh pergerakan di Sumatera Utara terlalu sering berpergian hingga Lafran harus tinggal bersama kakaknya.
Pada usia muda itulah, Lafran jadi pemberontak terhadap kondisi ketidakadian yang menuntut ia harus pindah ke berbagai sekolah. Lafran bahkan sempat jadi petinju jalanan. Kakaknya-lah, Sanusi dan Armijn Pane, yang mendorong Lafran agar energi pemberontakkannya dimanfaatkan dalam bentuk karya.
Perjalanan Lafran dari Tapanuli Selatan (Sipirok) ke Jakarta hingga Yogyakarta mewarnai perubahan cara pandang Lafran dalam berjuang. Idealismenya menguat, prinsip hidup semakin tak tergoyahan, Lafran Pane menyimpan visi besar dalam memperjuangkan keindonesiaan.
Saat pendudukan Jepang, Lafran sempat ditahan karena membela para peternak sapi. Dia dibebaskan, setelah ayahnya menebus dengan menyerahkan bus Sibual-buali kepada tentara Jepang. Sejak itu, Lafran begitu antusias terlibat dalam berbagai arus gerakan kemerdekaan termasuk para pemuda yang mendorong Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI.
Semasa kuliah di Yogyakarta, Lafran gundah oleh keberadaan kaum muslim terpelajar yang terlalu larut dalam pemikiran sekular. Mereka sering melupakan ibadah utama. Maka, muncullah gagasan mendirikan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), yang berjuang dalam bingkai keislaman dan keindonesiaan.
Awalnya tidak ada yang mudah, dalam arus politik aliran yang sangat kencang saat itu, keberadaan HMI justru ditentang oleh organisasi massa Islam yang sudah ada. Resistensi juga dilakukan gerakan kelompok sosialis. Dari semua pertentangan dan gesekan yang dihadapi, Lafran berketepatan hati menegakkan HMI.