AMEERALIFE.COM, JAKARTA — Penggunaan natrium dehidroasetat sedang ramai dibahas. Terutama setelah muncul kabar viral roti yang disebut-sebut menggunakan bahan tambahan tersebut.
Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Prof Hardinsyah mengemukakan penggunaan zat kimia natrium dehidroasetat dosis tinggi sebagai bahan tambahan pangan berpotensi memicu gejala iritasi hingga gangguan hati dan ginjal pada konsumen. “Sesuai dengan regulasi pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Kementerian Kesehatan, ada daftar bahan tambahan, ada yang diatur dan ada batas maksimumnya," kata Hardinsyah , Rabu (24/7/2024).
Ia mengatakan, natrium (Na) dehidroasetat pada awalnya dikhususkan sebagai bahan campuran kosmetik. Pada perkembangannya di Amerika Serikat dan Eropa diizinkan sebagai bahan tambahan pangan, namun dalam dosis yang sangat kecil.
"Karena itu, perlu izin dari lembaga berwenang dan penuh pengawasan," ujarnya.
Batas aman konsumsi natrium dehidroasetat pada manusia telah ditetapkan oleh beberapa badan pengatur kesehatan. Menurut Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), batas asupan harian yang dapat diterima (ADI) adalah 0-0,6 mg per kg berat badan per hari.
Hardinsyah yang juga Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan natrium dehidrosetat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan iritasi, kulit seperti terbakar atau luka, serta pendarahan kecil. Penelitian lainnya juga melaporkan natrium dehidrosetat dalam dosis tinggi dapat memicu kanker, gangguan hati, dan ginjal, kata Hardinsyah menambahkan.
"Semua bahan chemical melebihi batas aman ada istilah lethal dose. Dalam penelitian, hati merupakan organ kita yang pertama mengelola racun," katanya.
Dikatakan Hardinsyah tingkat gangguan organ akibat zat kimia tergantung paparannya dan kualitas organ setiap manusia berbeda-beda.
Diberitakan sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan produsen Roti Okko untuk menarik produknya dari pasaran usai ditemukan unsur natrium dehidroasetat sebagai bahan tambahan pangan pada produk tersebut. Penarikan produk tersebut dilatarbelakangi ketidakpatuhan produsen dalam menerapkan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) dengan benar dan konsisten.
Menurut Hardinsyah sikap BPOM merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah dalam mengawasi peredaran produk yang berbahaya bagi konsumen.
"BPOM tidak ungkap dosisnya, jangan-jangan dosisnya melebihi, tapi barangkali BPOM sangat hati-hati sebagai lembaga yang mengayomi masyarakat, jadi paling aman ya ditarik," katanya.