AMEERALIFE.COM, JAKARTA — Guru Besar IImu Konsumen IPB University, Prof Lilik Noor Yuliati, menilai biaya-biaya tersembunyi dalam transaksi digital semakin merugikan konsumen. Biaya lain-lain yang muncul mendadak saat proses checkout, menurutnya termasuk dalam kategori hidden costs yang sering tidak diungkap sejak awal transaksi.
"Biaya seperti ini sering disebut sebagai price obfuscation, yaitu praktik yang secara sengaja menyembunyikan informasi harga sebenarnya melalui berbagai istilah seperti biaya administrasi, biaya layanan tambahan, atau biaya tersembunyi lainnya," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Ahad (15/6/2025).
Dalam konteks perlindungan konsumen, Prof Lilik menegaskan praktik tersebut melanggar hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). "Pasal 4 huruf c UUPK dengan tegas menyatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur, termasuk soal harga dan biaya tambahan," kata dia.
la menyebutkan hidden costs berdampak langsung terhadap persepsi konsumen terhadap suatu platform. Tidak hanya menciptakan rasa tidak percaya, tetapi juga mengganggu proses pengambilan keputusan yang rasional.
"Konsumen merasa tertipu, karena harga awal yang ditampilkan berbeda dengan total yang harus dibayar. Ini tentu menimbulkan ketidakpercayaan dan membuat loyalitas konsumen menurun," kata dia.
Prof Lilik menjelaskan kepercayaan konsumen (brand trust) merupakan faktor krusial dalam dunia bisnis digital. Ketika konsumen merasa dirugikan, mereka cenderung tidak melakukan pembelian ulang dan bahkan berhenti merekomendasikan platform tersebut ke orang lain. "Ini tentu berbahaya bagi keberlangsungan usaha digital," kata dia.
Terkait regulasi, Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah peraturan yang mendukung transparansi harga. Selain UUPK, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), UU Nomor 1 Tahun 2024 sebagai perubahan atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 yang mengatur sektor jasa keuangan.
"Semua regulasi tersebut mengatur secara eksplisit bahwa pelaku usaha wajib menyampaikan informasi yang jelas dan tidak menyesatkan. Bahkan, POJK mengharuskan pemberitahuan 30 hari sebelumnya jika ada perubahan biaya," kata dia.
Namun demikian, wacana penghapusan biaya lain-lain perlu dikaji dengan cermat. Prof Lilik mengakui langkah ini sejalan dengan semangat perlindungan konsumen. Namun, dari sisi bisnis, hal tersebut bisa menimbulkan tantangan baru.
"Platform digital seperti e-commerce, ride-hailing, dan fintech memiliki struktur biaya operasional yang kompleks. Selama ini, biaya lain-lain menjadi salah satu penopang layanan. Jika dihapus, ada kemungkinan mereka menyiasatinya dengan menaikkan harga produk, mengarahkan konsumen ke layanan premium, atau memasukkan iklan berlebihan," kata dia.
la mengatakan, risiko lain dari penghapusan biaya tersembunyi secara total adalah munculnya bentuk baru hidden burdens, seperti markup harga yang tidak masuk akal, bundling produk yang tidak relevan, atau layanan berbayar tersembunyi di balik aplikasi gratis. "Transparansi tidak selalu berarti penghapusan total biaya lain-lain. Yang paling penting adalah bagaimana seluruh komponen biaya diinformasikan secara jelas sejak awal. Konsumen berhak mengetahui apa yang mereka bayar," kata dia.