AMEERALIFE.COM, JAKARTA---Dilihat dari latar belakang, anak-anak muda itu tak seragam. Ada Gugus, seorang pekerja IT di perusahaan di Purwakarta, Jawa Barat. Ada Manki, seorang tukang cukur dari Garut yang kini membuka usaha di Ketapang, Kalimantan Barat.
Ada Yusuf, seorang asisten manajer di salah satu toko ritel di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ada Faris, seorang pekerja pergudangan dari Jakarta Timur; ada Balee, kuli pabrik di Jakarta Timur; ada Dayat, wirausahawan dari Garut. Umur mereka merentang dari awal hingga akhir 20 tahunan.
Terlepas dari perbedaan latar belakang tersebut, mereka berkumpul bersama di dekat panggung di Festival Hammersonic di Ancol, Jakarta Utara. Masing-masing datang dari "koloni" metal di daerah masing-masing. Jadi saudara karena kegemaran yang sama terhadap musik ekstrem tersebut. Seluruhnya berkaos hitam saat ditemui Republika. Berpeluh selesai menenggelamkan diri dalam konser.
Manki bertutur, ia baru tiba dengan pesawat dari Kalimantan pada Jumat (17/3/2023). Langsung berkontak dengan rekan-rekannya dan saling jumpa di Hammersonic. Istrinya ia tinggalkan sebentar di Kalimantan. Baru kali ini juga bertatap muka setelah selama ini hanya bersapa lewat udara.
"Gue kenal ama Gugus dari 2015. Ketemunya kalau ada gigs Saja. Biasanya komunikasi lewat WA," kata Balee mengenang perkenalannya dengan rekan dari jauh. "Dari dulu waktu belum punya duit," ujarnya berseloroh.
Buat pemuda-pemuda itu, musik metal bukan sekadar suara-suara berisik. Balee mengenang, pertama mendengar musik metal ekstrem saat masih duduk di SMP. Saat itu, album Rebirth of Jatisunda dari band Jasad yang ia dengarkan. "Musik metal seperti jadi support system buat gue. Waktu hati gue susah dia yang nenangin," kata pria yang menggemari subgenre deathmetal dan blackmetal tersebut.
Hal serupa disampaikan Faris. Ia merasa tak perlu melampiaskan gundah gulana dengan cara-cara yang negatif saat mendengarkan metal. Sedangkan Yusuf senang dengan persaudaraan yang ditawarkan komunitas metal. "Seperti punya teman di mana-mana," kata dia. Mereka biasa berbagi rumah tinggal jika kebetulan ada gigs di daerah masing-masing.
Masing-masing mereka, berangkat dari musik yang lebih "halus" sebelum akhirnya menggemari metal ekstrem. Manki menuturkan, ia memulai dari mendengarkan band hard rock Guns 'n Roses. Sedangkan Gugus dan Yusuf dari heavy metal. Balee, dari musik emo yang didengar abang-abangnya.
Seluruhnya telah malih menggemari metal sejak belum mapan seperti sekarang. Kerap kali harus menabung dan patungan untuk menyambangi berbagai gigs di Jakarta dan Jawa Barat. Tak semua seberuntung mereka bisa menonton Hammersonic yang harga tiketnya belakangan mencapai Rp 2,6 juta. Biayanya bisa melonjak buat metalhead dari daerah-daerah di luar Jabodetabek.
"Dari puluhan anggota koloni kami hanya dua perwakilannya," kata Faris diamini Balee. Tak sedikit yang tak bisa datang karena alasan ekonomi.
Mereka juga berharap, Hammersonic dikembalikan muruahnya sebagai festival musik metal semata. "Kita tetap nonton biar juga ada band-band bukan metal, tapi maunya sih metal semua," kata dia.
Sampai kapan anak-anak muda itu akan mendengarkan metal? "Wah, saya nggak bisa ngebayangin nggak denger metal," kata Yusuf.