AMEERALIFE.COM, JAKARTA — Baru-baru ini ada kasus bayi usia 38 hari di Gresik, Jawa Timur, meninggal dunia diduga karena mendengar petasan. Ketika mendengar petasan, bayi tersebut mengalami kejang-kejang dan matanya tak dapat dibuka.
Setelah dilarikan kerumah sakit, bayi tersebut meninggal karena pecahnya pembuluh darah di otak. Apakah benar bunyi petasan bisa memicu kejang pada bayi dan menyebabkan kematian?
Dokter anak yang juga konsultan saraf anak, dr Arifianto SpA(K), mengaku belum mendengar berita utuhnya seperti apa dan tidak memahami kronologi persisnya bagaimana. Namun, secara umum, dengan mendengar bunyi dengan desibel tinggi, kemudian rentang waktu mendadak dan mengagetkan, apakah bisa membuat meninggal?
Dia mengatakan, dalam dunia kedokteran ada dua hal yakni kausalitas (sebab akibat) dan koinsiden (ada runtutan kejadian yang kesannya berurutan namun tidak ada hubungan sebab akibat dengan hal berurutan tadi). Dalam kasus tersebut, menurut dia, seharusnya dilakukan investigasi atau penyelidikan terkait apakah ada hubungan sebab akibat antara mendengar bunyi intensitas tinggi, mendadak, mengagetkan, dan membuat jadi meninggal atau sebenarnya tidak ada hubungan. Namun karena ada urutan kejadian tersebut sepertinya satu kesatuan, maka bisa dikesankan sebagai satu kesatuan.
"Ini seharusnya bisa dibedakan dan ini hanya diketahui apabila dilakukan investigasi," ujarnya kepada Republika.co.id, Sabtu (29/4/2023).
Sementara untuk mencari adanya hubungan mendengar bunyi petasan dengan kejang, dokter Apin menjelaskan kejang ada dua macam, kejang dengan pencetus dan tanpa pencetus. Artinya tidak semua kejang ada pencetus yang jelas. Sering kali tidak ada pencetus yang jelas. Misalnya epilepsi, kejang tidak disertai dengan demam dan kejangnya minimal sudah terjadi lebih dari sekali dan hari yang berbeda, umumnya tidak diketahui pencetusnya dari mana.
"Bisa saja sebenarnya, pada kasus, umumnya secara langsung mendengar bunyi keras mendadak membuat kejang meninggal, itu kasus yang sangat-sangat jarang. Bisa dikatakan belum jelas hubungan sebab akibatnya," ujarnya.
Dokter yang akrab disapa Apin ini mengatakan, bisa saja ini merupakan suatu hal yang dibuat asumsi atau hipotesis sebagai berikut: anak ini kaget mendengar bunyi kemudian tidak lama anak itu kejang. Namun belum tentu ada hubungan antara mendengar bunyi dengan kejangnya.
Selain itu, menurut dokter Apin, bisa saja ternyata kejang anak tersebut karena mengalami epilepsi atau ada hal lain, tapi urutan waktunya bersamaan. "Jadi jika dibuat kesimpulan secara umum, apakah ada hubungan antara mendengar dengan kejang, secara umum, tidak. Kalaupun ada hubungannya sifatnya tidak langsung, mendengar langsung kejang itu tidak, dia kaget, ada kejang yang tidak berhubungan dengan kagetnya itu," jelasnya.
Kemungkinan lain yang terjadi menurut dokter Apin, ada satu jenis kejang yang bernama spasme infantil (SI) di mana bentuk kejangnya seperti kaget-kagetan. Kaget, berhenti, kaget, berhenti.
Umumnya, kejang ini sulit diobati dan berpotensi memperburuk perkembangan otak pada kemudian hari. “Ini tidak ada hubungannya dengan mendengar bunyi kaget, tapi bentuknya tuh seperti anak kaget, padahal ini sebenarnya suatu kejang. Ini satu hal lagi yang harus dipastikan," ujarnya. Menurutnya hal itu hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG).