AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Pakar ekonomi IPB University, Dr Laily Dwi Arsyianti, menyoroti fenomena gagal bayar pinjaman online (pinjol) yang marak terjadi belakangan ini. Menurutnya, tren gagal bayar tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi lebih dipicu oleh perilaku konsumtif masyarakat yang semakin meningkat.
"Fenomena gagal bayar ini mencerminkan maraknya penggunaan pinjol yang bukan lagi berdasarkan kebutuhan mendesak atau produktif, melainkan untuk memenuhi gaya hidup dan mengikuti tren sosial," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Kamis (17/7/2025).
la mengungkapkan sejumlah orang bahkan memaksakan diri membeli barang-barang seperti ponsel terbaru, meskipun kondisi keuangan tidak memungkinkan. Hal ini menunjukkan bahwa pinjaman mulai digunakan untuk kepentingan konsumtif, bukan lagi sebagai solusi keuangan darurat.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2025 mencatat total pinjaman fintech peer-to-peer (P2P) lending yang belum dibayar mencapai Rp 79,96 triliun, dengan tingkat wanprestasi atau TWP90 sebesar 2,77 persen. Dr Laily mengingatkan utang pinjol tidak akan menghilang, malah bunganya dapat terus bertambah.
"Semua riwayat kredit tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), dan jika tidak dibayar dalam waktu 180 hari, akan berstatus kredit macet," kata dia.
Menurutnya, status kredit macet ini akan menyulitkan seseorang dalam pengajuan pinjaman penting pada masa depan, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit kendaraan, atau kartu kredit. Dr Laily juga mengingatkan, penyedia pinjol memiliki beragam cara untuk menagih utang, termasuk mengakses data pribadi peminjam.