AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Tingkat infeksi menular seksual (IMS) sifilis meningkat secara signifikan dalam dua dekade sejak awal tahun 2000-an. Menurut sebuah laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) pada April lalu, sifilis meningkat sekitar 30 persen antara 2020 hingga 2021 saja.
Data CDC menunjukkan pada 2020, terdapat 134 ribu kasus sifilis yang dilaporkan di AS, yang meningkat menjadi 176 ribu kasus pada 2021. Ini merupakan lompatan besar dari angka sifilis yang tercatat pada awal tahun 2000-an, di mana hanya sekitar 30 ribu kasus.
Sifilis adalah infeksi yang biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui hubungan seks vaginal, anal, atau oral. "Infeksi sifilis sering kali tanpa gejala dan juga gejalanya mirip banyak kondisi umum lainnya. Tanpa pengobatan, orang dapat menyebarkannya ke orang lain," kata rekan peneliti senior di Cambridge Public Health di University of Cambridge, Sarah Steele dilansir Newsweek, Selasa (16/5/2023).
Gejala sifilis mungkin tidak langsung terlihat oleh banyak orang. Bagi pasien, gejalanya bisa hilang untuk sementara waktu, atau meniru penyakit umum lainnya, yang menyebabkan kesalahan diagnosis atau penundaan pengobatan.
Sifilis biasanya berkembang dalam beberapa tahap yang dikenal dengan tahap primer, sekunder, laten, dan tersier, dengan setiap tahap memiliki gejala yang berbeda. Yang pertama muncul biasanya chancres, atau luka atau borok kecil yang tidak nyeri, sering di dalam atau di sekitar alat kelamin, atau di mulut yang berkembang antara dua dan enam minggu setelah terpapar.
Pada tahap selanjutnya, ruam merah bernoda mungkin muncul, sering di tangan atau kaki, serta pertumbuhan kulit kecil, bercak putih di mulut, kelelahan, sakit kepala, nyeri sendi, demam, dan pembengkakan kelenjar. Beberapa orang tidak mengalami gejala sama sekali, sementara pada orang lain sembuh dengan sendirinya setelah waktu yang singkat.
“(Tahap laten) dapat berlangsung selama beberapa tahun sebelum akhirnya berkembang menjadi sifilis tersier, tahap paling merusak yang dapat menyebabkan kerusakan substansial pada sejumlah organ, termasuk jantung, mata, otak, dan sistem saraf yang lebih luas," ujar seorang profesor kedokteran di Anglia Ruskin University di Inggris, Simon Bishop.
Sifilis juga memungkinkan ibu hamil menularkan penyakit ini kepada anak-anak mereka yang belum lahir. Ini menyebabkan kondisi sifilis kongenital yang sering kali dikaitkan dengan cacat parah seperti kelainan bentuk tulang, hingga sejumlah masalah kesehatan lainnya.
Peningkatan kasus yang terlihat dalam data ini kemungkinan besar disebabkan oleh efek Covid-19 pada sistem perawatan kesehatan dan gejala yang terlewatkan, serta perubahan cara orang berhubungan seks. Bishop memperkirakan, faktor pendorong lain adalah pengurangan penggunaan kondom, baik dalam hubungan seksual heteroseksual maupun LSL (laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki).
“Hal ini sendiri didorong oleh munculnya obat-obatan PrEP (pre-exposure prophylaxis) yang melindungi dari HIV tanpa perlu menggunakan kondom, serta berkurangnya rasa takut terhadap infeksi HIV di seluruh populasi secara umum,” kata Bishop.
Bishop mengatakan, peningkatan umum dalam seks bebas dalam beberapa populasi sebagian didorong oleh aplikasi kencan seperti Tinder dan Grindr. Semakin banyak orang yang melakukan hubungan seks tanpa kondom, semakin besar risikonya. Dalam beberapa tahun terakhir, fokus kesehatan masyarakat adalah pada klamidia.
"Meskipun sifilis dapat dengan mudah diobati dengan antibiotik (biasanya benzatin penisilin G), ada beberapa bukti tentang munculnya resistensi obat," ujar Bishop. Jika ini terjadi, maka pencegahan dan diagnosis dini menjadi lebih penting untuk sifilis.