AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Bakteri baik atau probiotik yang berkembang biak di usus bisa meningkatkan kekebalan tubuh, membantu upaya penurunan berat badan, bahkan mendukung kesehatan mental. Namun, bakteri baik itu rupanya butuh "makanan", yang didapat dari prebiotik.
Itu sebabnya para pakar menyarankan untuk memasukkan sejumlah makanan prebiotik dalam menu harian. Ahli gizi Zoe Bingley-Pullin menjelaskan bahwa prebiotik adalah serat dan karbohidrat dalam makanan, yang mendukung berkembangnya bakteri baik (probiotik) di sistem pencernaan.
Prebiotik yang melewati lambung dan usus akan membelokkan pencernaan dari enzim dan asam, sehingga jadi bahan bakar untuk senyawa probiotik. Itu membantu keanekaragaman bakteri usus dan meningkatkan keberadaan bakteri yang dikenal 'ramah', seperti lactobacilli dan bifidobacteria.
Dikutip dari laman Women's Health, Senin (31/7/2023), ada sejumlah makanan kaya prebiotik yang disarankan oleh Bingley-Pullin. Namun, menambahkan serat ekstra bisa mengejutkan sistem tubuh, jadi tak perlu menyantap semua sekaligus, dan pastikan tubuh tetap terhidrasi.
Bingley-Pullin menyarankan memasukkan bawang putih, daun bawang, asparagus, serat psilium, dan oat untuk mendapatkan prebiotik. "Oat mengandung sejenis serat yang disebut betaglukan, yang dimakan oleh bakteri di saluran usus Anda, menghasilkan produksi asam lemak rantai pendek. Pilih oat utuh dan hindari yang instan jika memungkinkan," ujarnya.
Berapa banyak makanan prebiotik yang harus dikonsumsi? Kabar baiknya, jika seseorang tetap berpegang pada pola makan sehat dan seimbang dengan asupan buah serta sayuran beragam, artinya dia sudah mendapatkan cukup prebiotik tanpa perlu perencanaan khusus.
Ahli gizi Kristen Beck menyebutkan pedoman sederhana, yakni makan dua porsi buah dan lima porsi sayuran setiap hari. "Ditambah kacang-kacangan dan biji-bijian, Anda sudah mengonsumsi lebih dari cukup prebiotik untuk memberi makan bakteri pencernaan Anda," ungkap Beck.
Apa yang terjadi jika makan terlalu banyak makanan prebiotik? Menurut Beck, tidak akan terjadi efek merugikan apa pun. Namun, jika seseorang sebelumnya mengidap sindrom iritasi usus besar (IBS) atau memiliki masalah perut yang berkelanjutan, disarankan berkonsultasi dengan dokter sebelum mengubah pola makan.