AMEERALIFE.COM, JAKARTA---Indonesia merupakan surga kuliner dengan segudang variasi makanan lokal yang menggugah selera. Meski mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, ragam kuliner khas nusantara tetap memiliki titik kritis kehalalan yang patut diwaspadai oleh umat Islam.
Bakso misalnya, merupakan salah satu makanan yang banyak digemari oleh pecinta kuliner Tanah Air. Meski mendapatkan pengaruh besar dari Cina, bakso yang ada di Indonesia jauh berbeda dengan bakso khas Cina. Beberapa perbedaannya terletak pada bumbu khas nusantara dan jenis daging yang digunakan.
Di Indonesia, sajian bakso biasanya dibuat dengan daging yang halal, seperti sapi, ikan, atau ayam. Meski begitu, salah satu titik kritis kehalalan dalam sajian bakso terletak pada daging yang digunakan.
Terkadang, oknum pedagang yang nakal menggunakan daging non halal, seperti babi, sebagai campuran dalam adonan bakso tanpa memberitahukannya ke pihak pembeli. "(Hal ini biasanya dilakukan untuk) menekan biaya produksi dan memberikan keuntungan berlipat," ungkap Prof Ir Khaswar Syamsu MSc PhD dalam laman resmi Halal MUI, seperti dikutip oleh Republika pada Kamis (3/8/2023).
Titik kritis lain pada sajian bakso adalah proses penyembelihan daging serta bahan penyedap yang digunakan pada kuahnya. Hewan yang halal seperti sapi, bisa menjadi tidak halal bila proses penyembelihannya tidak sesuai syariat Islam. Sedangkan bahan penyedap seperti MSG memiliki titik kritis pada proses biosintesisnya.
Titik kritis kehalalan juga dapat ditemukan pada kue-kue tradisional, seperti jenang kudus dan klepon. Untuk kue-kue tradisional, salah satu titik kritisnya terletak pada bahan tepung beras yang digunakan.Tepung beras murni sebenarnya termasuk ke dalam kelompok bahan tidak kritis.
Namun terkadang, ada beberapa bahan tambahan kimia yang dimasukkan ke dalam tepung beras saat proses produksi."Sebagai contoh, pada produk tepung gandum sering ditambahkan L-sistein dalam bentuk hidrokoloridanya untuk melembutkan senyawa gluten," ujar Auditor Halal Senior LPPOM MUI Dr Ir Sedarnawati Yasni MAgr, seperti dikutip dari laman Halal MUI.
Dr Sedarnawati menyatakan bahwa L-sistein merupakan bahan yang bisa didapatkan dengan mudah di pasaran dengan harga murah. Akan tetapi, L-sistein ini bisa terbuat dari rambut manusia, khususnya yang diimpor dari Cina.
Titik kritis lain dari kue tradisional juga dapat ditemukan pada bahan pemanisnya. Beberapa produk gula pasir, gula jawa, atau gula aren kerap ditambahkan dengan bahan pemucat berupa arang (karbon) aktif dalam proses pengolahannya.
Arang aktif ini dapat berasal dari bahan tambang seperti calgon, bahan nabati seperti arang kayu, atau dari tulang hewan."Jika digunakan yang berasal dari hewan inilah yang perlu diperhatikan, apakah tulang babi yang jelas haram, atau dari tulang hewan sapi yang berasal dari rumah potong bersertifikat halal atau tidak," terang Dr Sedarnawati.
Selain makanan, kuliner nusantara juga memiliki sejumlah minuman khas yang banyak disukai masyarakat. Salah satu di antaranya adalah jamu yang terkenal dengan khasiat-khasiat kesehatannya."Secara umum, jamu terbuat dari bahan tumbuh-tumbuhan sehingga halal dikonsumsi," tutur Direktur Utama LPPOM MUI, Ir Muti Arintawati MSi dalam laman Halal MUI.
Namun dalam praktiknya, produk jamu terkadang dicampur dengan bahan-bahan lain yang tidak jelas kehalalannya. Bahan-bahan tambahan inilah yang kerap menjadi titik kritis kehalalan jamu.Pada jamu seduh misalnya, beberapa kedai jamu bisa menambahkan bahan yang tidak halal saat meraciknya.
Sebagai contoh, menambahkan anggur kolesom, arak, atau ginseng yang direndam di dalam arak. Jamu instan berbentuk cair juga bisa memiliki residu alkohol yang cukup tinggi. Kandungan alkohol ini bisa berasal dari proses ekstraksi."Karena proses ekstraksinya selain menggunakan air juga terkadang menggunakan alkohol," ujar Muti.