AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Film yang berkisah tentang pembunuhan atau mengangkat kasus kriminal yang sungguhan terjadi di dunia nyata mungkin terkesan mengerikan untuk ditonton. Namun nyatanya, banyak orang malah menggemari tayangan demikian dan tidak ragu menontonnya.
Sebut saja tayangan dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso tentang kasus pembunuhan kopi sianida yang kini marak diperbincangkan di media sosial (medsos). Begitu juga film kriminal Thailand, The Murderer, serta Conversations with a Killer: The Ted Bundy Tapes yang lumayan hit di Netflix.
Masih banyak film soal pembunuhan lainnya yang juga menjadi populer, terutama yang jalan ceritanya terinspirasi dari kasus kriminal di dunia nyata. Mengapa tayangan demikian malah digemari? Ternyata ada beberapa alasan yang mendasarinya.
Dikutip dari laman Science Focus, Senin (2/10/2023), penelitian tahun 2010 di University of Illinois di Urbana-Champaign mengungkap minat gender terkait tayangan serupa. Berdasarkan temuan studi, perempuan cenderung lebih tertarik pada film dengan kisah kriminal nyata dibandingkan laki-laki.
Kaum hawa paling tertarik pada cerita yang mengungkap motif pembunuh, berisi informasi tentang bagaimana korban melarikan diri, dan menampilkan korban perempuan. Dengan kata lain, mereka secara naluriah tertarik pada cerita-cerita yang korbannya dapat mereka kenali dan mempelajari strategi mengalahkan "penjahat".
Tentu saja, ada sejumlah alasan lain mengapa banyak orang tertarik pada kisah yang terinspirasi dari kejahatan yang sebenarnya. Misalnya, elemen penyelesaian masalah dalam banyak kasus, serta ada kepuasan karena menyimak alur cerita yang bagus.
Psikiater Jean Kim menjelaskan alasan banyak orang suka menyimak tayangan soal kejahatan, utamanya kasus kriminal yang benar-benar terjadi. Menurut Kim, tayangan demikian mengusik aspek terdalam dan paling menakutkan dalam hidup manusia, bahwa keamanan seseorang dapat dengan mudah dihancurkan oleh penjahat, baik orang asing maupun orang terdekatnya.
"Mungkin itu didorong kegelisahan karena melihat orang-orang jahat lolos dari hukuman, mungkin itu suatu kebutuhan menatap bahaya untuk merasa bahwa kita dapat mengatasinya pada tingkat tertentu, bahkan walaupun itu mengingatkan bahwa kita tidak akan pernah benar-benar aman dan bahwa kematian pasti terjadi," ujar Kim, seperti dikutip dari laman Psychology Today.
Perempuan yang berdomisili di Washington DC, Amerika Serikat, itu menyebutkan beberapa alasan lain yang juga relevan. Film pembunuhan dan kriminalitas dari kejadian nyata menawarkan formula naratif yang pas, memperkuat kejelasan moral, dan mengingatkan penonton akan adanya keberuntungan.
Tayangan tersebut juga secara tak langsung membuat penonton mengetahui hal-hal terlarang. Bukan rahasia bahwa film-film kriminal menampilkan cerita yang sangat tidak wajar dan meresahkan, dengan perilaku terburuk umat manusia, seperti pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, dan lainnya.
Akan tetapi, tayangan misteri itu terus menjadi populer karena banyak sineas mengikuti formula naratif yang teruji dan benar, yaitu yang memberikan rasa konflik dan penyelesaian yang meyakinkan bagi pemirsa. Kejahatan mengerikan terjadi, ada petunjuk, lalu pembunuhnya terungkap. Syukur-syukur jika ditangkap dan diadili.
Narasi tayangan pembunuhan juga memberikan struktur moral kepada penontonnya yang cukup lugas, mengingatkan pada rasa kemanusiaan yang dimiliki. Kim mengatakan, fakta bahwa penonton merasa muak dan ngeri atas apa yang terjadi pada para korban mencerminkan rasa empati serta keinginan tulus untuk melihat para pelaku kejahatan mendapat ganjarannya.
Menyaksikan film yang terinspirasi kasus pembunuhan juga menjadi jarak aman untuk menyaksikan berbagai adegan kekerasan dan trauma kelam. Dengan menuangkannya dalam alur cerita film atau serial, sineas juga membuat penonton bisa bermain-main jadi detektif, dengan berbagai spekulasi sepanjang tayangan.
Hal lain yang tanpa sadar menjadi daya tarik adalah tayangan demikian membuat penonton bisa mempelajari sesuatu. "Mungkin dengan mengamati potensi tanda-tanda peringatan dan perilaku sosiopat pada serigala yang bersembunyi di balik bulu domba, kita merasa dapat belajar dan bahkan merasa bisa menyelamatkan diri supaya tidak menjadi mangsa dari sosok yang mencurigakan," kata Kim.