AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan tindak pidana sehingga harus berhadapan dengan hukum atau berkonflik dengan hukum. Ketiga faktor itu terdiri atas faktor internal, faktor eksternal, dan faktor situsional.
“Minimnya keteladanan dari orang tua atau orang dewasa di sekitar anak tumbuh kembang juga bisa menjadi faktor penyebab, mengingat perilaku anak 70 persen meniru orang dewasa di sekitarnya,” ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, kepada Republika, Selasa (3/10/2023).
Lebih lanjut dia menerangkan, faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri dan lingkungan keluarganya atau pengasuhan yang diterima anak dari keluarganya. Misalnya, kata dia, karena adanya salah asuhan atau salah didikan dari orang tua sehingga anak menjadi manja, selalu dibela sehingga anak tidak paham konsekuensi dari perbuatannya.
“Atau bisa juga karena anak justru diasuh dengan kekerasan oleh orang tuanya, sehingga anak bisa berpotensi kuat menjadi pelaku kekerasan kelak di kemudian hari, bisa di lingkungan sekolah atau lingkungan pergaulan anak,” ujar mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu.
Kemudian faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar rumah anak, misalnya faktor yang berasal dari lingkungan sekolah, faktor pergaulan, atau faktor lingkungan masyarakat. Termasuk di dalamnya, pengaruh dari dunia maya dari penggunaan gawai yang tanpa aturan atau edukasi dan tidak diawasi oleh orang tua atau keluarganya.
"Anak yang kerap mengakses konten kekerasan, bisa saja meniru konten tersebut, misalnya game online yang berisi kekerasan, bisa film juga. Selain itu, anak bisa juga kecanduan konten pornografi kemudian melakukan kekerasan seksual pada teman sepermainan atau sebaya,” kata Retno.
Dia menjelaskan, kasus yang terjadi di SMPN di Cilacap, di mana muncul anak-anak geng bernama BASIS menunjukkan, pergaulan sangat memengaruhi perilaku anak. Di mana, anak belajar kekerasan dari teman sebaya. Ketika anak-anak senasib yang diasuh dengan kekerasan dalam keluarga berkumpul dalam satu geng, maka antaranggota kelompok akan saling belajar kekerasan.
Berikutnya adalah faktor situasional, yaitu faktor yang muncul tak terduga. Dia memberikan contoh ketika anak menjadi siswa junior dan dipaksa siswa senior untuk ikut tawuran. Karena takut menolak, maka si anak ikut tawuran. Contoh lainnya, ketika situasi yang terjadi adalah orang tuanya berpisah dan si anak mengalami tekanan psikologis, tapi tidak mendapatkan pertolongan dari profesional atau tidak punya sistem dukungan dalam keluarga barunya.
FSGI mencatat, sejak Januari hingga September 2023 jumlah kasus perundungan (bullying) di satuan pendidikan mencapai 23 kasus. Dari 23 kasus tersebut, 50 persennya terjadi di jenjang SMP, 23 persen terjadi dijenjang SD, 13,5 persen di jenjang SMA, dan 13,5 persen di jenjang SMK.
“Jenjang SMP paling banyak terjadi perundungan, baik yang dilakukan peserta didik ke teman sebaya, maupun yang dilakukan pendidik,” ujar Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo.
Dia menyampaikan, di antara 23 kasus perundungan itu ada yang sampai memakan korban jiwa. Di mana, terdapat satu siswa SD negeri di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal setelah mendapatkan kekerasan fisik dari teman sebaya dan satu santri MTs di Blitar, Jawa Timur, meninggal dunia usai mengalami kekerasan dari teman sebaya. Kedua kasus terjadi di lingkungan sekolah.
“Ada juga santri yang dibakar oleh teman sebaya sehingga mengalami luka bakar serius. Selain itu, juga tercatat ada dua kasus perundungan dijenjang SD yang diduga menjadi salah satu pemicu korban bunuh diri, meskipun faktor penyebab bunuh diri seseorang tidak pernah tunggal,” kata Heru.