Sementara, apabila tujuan baik yang ingin dicapai masih bisa terwujud tanpa dusta, maka dusta menjadi haram. Buya Yahya menyampaikan, perlu diingat bahwa "tujuan baik" itu harus baik menurut syariat Islam, bukan baik dari asumsi perseorangan.
Dalam kitab Al-Adzkar, Imam Nawawi memberi contoh ketika seorang beriman yang berlari ketakutan dan bersembunyi di rumah kita. Tak lama, datang orang zalim yang membawa parang, lantas bertanya apa ada orang masuk ke rumah.
Saat seperti itu, seorang Muslim boleh berbohong, bahkan berbohong menjadi wajib agar terjaga nyawa orang beriman yang bersembunyi dan terhindar dari pembunuhan. Apalagi, menjaga nyawa Muslim lain wajib hukumnya.
Contoh lain yakni dalam menjaga harta titipan, atau berusaha mendamaikan dua orang beriman yang tengah berselisih. Selain itu, Buya Yahya juga menyebut seseorang yang sudah bertaubat sebaiknya tidak berterus terang mengenai aibnya di masa lalu. Sebab, biarlah itu menjadi urusan antara diri sendiri dengan Allah SWT.
Kalaupun tak bisa berterus terang dan harus berbohong demi kebaikan, Buya Yahya menyampaikan ada cara yang disebut tauriyah atau menyembunyikan sesuatu. Seseorang bisa mengemas ucapan dengan manis, menggunakan kalimat yang menghindari pertanyaan dan punya makna ganda sehingga bisa diartikan berbeda oleh orang lain.
Tetap saja, seorang Muslim harus berhati-hati memperlakukan hukum diperbolehkannya berbohong untuk kebaikan. "Dengan catatan, kebohongan yang tidak membahayakan, tapi membuahkan kebaikan. Bohongnya tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Ada rambunya, tidak sebebas-bebasnya," kata Buya Yahya.