Sani yang juga Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, menjelaskan anak remaja yang berpartisipasi pada geng sekolah, pada intinya memang sedang melalui fase usia mencari jati diri dan identitas diri. Sehingga pada akhirnya mereka merasa punya identitas sosial dengan masuk menjadi anggota geng tertentu.
Kalau seandainya dalam persepsi remaja, geng itu lebih bergengsi, misalnya, maka banyak orang akan ikut geng tersebut. Remaja akan merasa citra atau image mereka menjadi berubah karena masuk geng yang dianggap kuat dan keren.
Hal itu meskipun geng tersebut secara aksi banyak melakukan perundungan dalam perekrutannya. Banyak kekerasan yang sebenanrya tidak baik, tapi diabaikan karena temaja tersebut mengharapkan identitas diri.
Identitas tersebut sangat diharapkan meningkatkan kepercayaan diri remaja. Memang, menjadi anggota geng bisa menjadi cara cepat meraih reputasi diri dibandingkan dengan melakukan proses belajar, atau misalnya jadi juara pada lomba tertentu yang positif.
Tetapi cara cepat untuk mendapatkan jati diri lewat masuk geng tentu bukan hal yang tepat. Walaupun terjadi perundungan dan harus menanggung kekerasan dari seniornya, remaja yang masuk menjadi anggota geng berharap memiliki solidaritas, merasa aman, dan dijaga senior. Harapan mereka, selain mendapatkan identitas diri, juga jadi merasa aman.
"Mungkin saja di sekolah itu dianggap tidak aman kalau tidak masuk geng," lanjutnya.
Meski demikian, masuk geng tidak selalu berarti negatif. Hal ini begantung geng tersebut memiliki nilai dan aktivitas yang positif atau sebaliknya juatru negatif. Sebaiknya orang tua berperan mengingatkan anak tentang geng-geng di sekolah. Sebab ada geng formal yang di bawah naungan sekolah, juga ada geng informal di luar tanggungjawab sekolah.