Sementara itu, dalam Alquran surat Al Maidah ayat lima memberi peluang pernikahan beda agama, yaitu bagi laki-laki Muslim boleh menikah dengan ahli kitab, yakni kaum Yahudi dan Nasrani. Al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam al-Syafi’i, laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya Alquran.
Dengan catatan, mereka tetap beragama menurut kitab sucinya. Sementara menurut tiga madzhab lainnya, Hanafi, Maliki, dan Hambali, laki-laki Muslim boleh menikahi wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh (diubah).
MUI telah mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama, yakni dalam keputusan MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Fatwa itu berbunyi, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Kesimpulannya, pernikahan beda agama antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim hukumnya tidak sah menurut kesepakatan para ulama salaf dan khalaf. Pernikahan beda agama antara laki-laki Muslim dengan wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada yang melarangnya.
"Namun, keputusan ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah sepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik Muslim maupun Muslimah," tutur Kiai Cholil.