Kamis 25 Jul 2024 09:18 WIB

Sejarawan: Anak Muda Jangan Malu Pakai Kebaya di Setiap Kesempatan

Anak muda dinilai punya peranan penting untuk terus menggaungkan popularitas kebaya.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Warga mengenakan kebaya untuk memeriahkan Hari Kebaya Nasional yang diperingati setiap 26 Juli 2024.
Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Warga mengenakan kebaya untuk memeriahkan Hari Kebaya Nasional yang diperingati setiap 26 Juli 2024.

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA --Kebaya dinilai dapat digunakan oleh semua kalangan bukan lagi sebagai penentu sebuah kelas dari suatu kelompok. Menurut sejarawan dari Universitas Airlangga (Unair) Moordiati, pada era modern pergeseran ini penting untuk membuat kebaya tetap lestari dari zaman ke zaman.

Moordiati kemudian mengajak anak muda untuk tidak malu mengenakan kebaya di berbagai kesempatan. Sebagai generasi penerus, menurut dia, anak muda memiliki peranan penting untuk terus menggaungkan popularitas kebaya.

Baca Juga

“Jadi buat anak muda jangan malu untuk menggunakan kebaya di setiap kesempatan. Kalau bukan anak muda yang memulai, siapa yang akan melestarikan pakaian kebaya di masa mendatang,” kata Moordiati dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (25/7/2024).

Dalam memperingati Hari Kebaya Nasional pada 24 Juli, Moordiati kemudian menceritakan sejarah kebaya. Menurut dia, kebaya dikenal jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Pada mulanya, kebaya diperkenalkan oleh bangsawan Eropa dan para Priyayi pada abad ke-19.

“Sebetulnya, pada zaman klasik, yakni pada Hindu-Budha, juga telah mengenal pakaian. Namun, zaman tersebut pakaian yang dikenakan tidak sepenuhnya menutupi seluruh tubuh. Awal memasuki civilized era masyarakat baru menyadari bahwa perlunya pakaian yang menutup badan secara keseluruhan,” kata Moordiati.

Moordiati mengatakan, pada zaman itu keberadaan kebaya ini sangat terbatas hanya kalangan tertentu yang dapat menggunakan kebaya. Masyarakat biasa umumnya hanya memakai kemben untuk kegiatan sehari-harinya. Ia menambahkan, pada zaman itu kebaya dinilai pakaian yang sangat eksklusif.

“Awal mula masyarakat pribumi mengenal kebaya yakni adanya interaksi dengan para bangsawan. Salah satunya, para buruh atau server yang bekerja untuk mereka (bangsawan). Akhirnya, perlahan-lahan masyarakat mengadopsi kebaya yang digunakan oleh bangsawan saat itu,” kata dia.

Pada zaman itu terdapat perbedaan dalam pemakaian kebaya yakni terlihat dari bahan yang digunakan. Para bangsawan atau priyayi cenderung memakai kebaya berbahan eksklusif yakni bludru dan kancing emas.

Sedangkan, masyarakat biasa memakai kebaya berbahan seadanya atau yang sekarang dikenal dengan lurik. “Perbedaan tersebut menunjukkan representasi dari suatu kelas masyarakat tertentu pada saat itu antara masyarakat kelas menengah bawah dan masyarakat kelas atas,” kata dia.

Ia menyebut, saat itu penggunaan model yang digunakan hampir sama. Terbukti, pada beberapa sumber sejarah membuktikan para bediende dan masyarakat kelas atas menggunakan model kebaya encim. Model itu merupakan hasil saduran dari budaya Indonesia dengan budaya China.

“Perempuan indo campuran memiliki peran yang besar dalam melanggengkan eksistensi kebaya pada saat itu. Mereka melanggengkan keberadaan kebaya tidak hanya pada estetika namun juga menyamanan karena menyesuaikan iklim pada kawasan Hindia-Belanda,” ujar Moordiati. 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement