Rabu 13 Nov 2024 15:13 WIB

Hampir 97 Persen Anak Usia 5-19 Tahun tak Cukup Makan Sayur dan Buah

Banyak anak tidak mendapatkan cukup buah dan sayur.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Anak tidak mau makan sayur dan buah (ilustrasi). Dokter mengatakan hampir 97 persen anak berusia 5 sampai 19 tahun tidak mengonsumsi sayur dan buah dengan cukup.
Foto: republika
Anak tidak mau makan sayur dan buah (ilustrasi). Dokter mengatakan hampir 97 persen anak berusia 5 sampai 19 tahun tidak mengonsumsi sayur dan buah dengan cukup.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Dokter spesialis gizi klinik, dr Tirta Prawita Sari, mengatakan hampir 97 persen anak berusia 5 sampai 19 tahun tidak mengonsumsi sayur dan buah dengan cukup. Hal ini berpotensi meningkatkan risiko obesitas dan masalah kesehatan lainnya.

Tirta mengatakan, diet yang buruk dapat memicu peradangan dalam tubuh, yang berhubungan dengan risiko kesehatan jangka panjang. Penting untuk mengontrol kualitas makanan yang dikonsumsi anak-anak.

Baca Juga

Banyak anak tidak mendapatkan cukup buah dan sayur, padahal asupan tersebut sangat penting untuk kesehatan. Data menunjukkan bahwa hampir 100 persen anak tidak mengonsumsi rekomendasi yang dianjurkan.

"Keterlibatan keluarga dan lingkungan sangat penting dalam membentuk kebiasaan makan yang sehat. Edukasi tentang makanan yang baik perlu dilakukan sejak anak masih kecil," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (12/11/2024).

Selain itu, dia mengatakan tingginya konsumsi minuman manis di kalangan anak-anak dinilai menjadi masalah serius yang berkontribusi terhadap obesitas. Menurut dia, konsumsi minuman manis yang tinggi ini juga disertai dengan kurangnya aktivitas fisik di kalangan anak.

"Jadi mulai sekarang masyakarat harus selalu membaca informasi nilai gizi pada produk makanan untuk menghindari konsumsi gula berlebih," kata dr Tirta.

Menurut dr Tirta, minuman manis yang dijual dengan harga murah kerap menarik perhatian anak-anak. Strategi pemasaran yang agresif juga memengaruhi pilihan konsumsi mereka sehari-hari.

Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah terkait obesitas masih lemah. "Negara lain itu telah menerapkan intervensi yang lebih efektif untuk mengurangi konsumsi gula di kalangan anak-anak," ujar dr Tirta.

Dalam keseharian, obesitas juga sering kali dianggap bukan penyakit dan kurangnya spesialis dalam bidang ini membuat penanganannya sulit. Edukasi yang minim dan pandangan masyarakat berdampak pada cara penanganan obesitas.

"Keterbatasan tenaga medis yang fokus pada obesitas mengakibatkan masalah kesehatan lain seperti diabetes tidak teratasi secara bersamaan. Hal ini memperburuk kondisi pasien yang mengalami obesitas," jelas dr Tirta.

Ia menyebut, obesitas sering tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan karena dianggap masalah kosmetik, padahal ini obesitas itu sendiri adalah salah salah satu diagnosis penyakit dan masalah kesehatan serius. Persolan yang dihadapi oleh pasien obesitas adalah ketika atas kesadaran sendiri pergi ke dokter untuk berkonsultasi atau terapi, asuransi kesehatan, bahkan BPJS Kesehatan pun tidak mau menanggung pembiayaannya.

"Asuransi kesehatan hanya mau menanggung bila obesitas tersebut sudah mengakibatkan penyakit lain yang lebih serius, seperti penyakit katastropik. Penyakit yang tidak dapat diatasi tanpa menangani obesitasnya terlebih dahulu," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement