AMEERALIFE.COM, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa parental abduction termasuk tindak pidana dinilai masih belum ditaati. Pakar hukum pidana, Ahmad Sofian, menilai pemerintah perlu segera merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak agar putusan MK bisa dijalankan secara efektif.
Revisi ini juga sangat krusial, mengingat dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026, ada kekhawatiran putusan MK terkait parental abduction tidak lagi relevan. Parental abduction diartikan sebagai tindakan pengambilan anak secara paksa oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan pihak yang memiliki putusan tetap hak asuh anak.
“Kita kan punya KUHP baru per tanggal 2 Januari 2026. Artinya putusan MK tentang parental abduction tidak berlaku lagi, karena yang di-review oleh MK adalah pasal 330 KUHP yang berlaku saat ini. Sementara KUHP itu, tahun depan kan sudah tidak berlaku lagi. Jadi saya mendesak pemerintah Prabowo-Gibran saat ini harus segera melakukan revisi terhadap UU perlindungan anak untuk memasukan ketentuan itu,” kata Ahmad dalam diskusi media terkait masalah child abduction di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Ahmad juga menyoroti kelemahan pengadilan dalam menjalankan eksekusi terkait hak asuh. Dalam banyak kasus, pemenang hak asuh anak, baik itu ibu atau ayah, kerap hanya menang di atas kertas tanpa bisa benar-benar mendapatkan haknya atas anak.
Menurut Ahmad, masalah ini disebabkan oleh tidak adanya mekanisme yang jelas bagi pengadilan untuk menjalankan putusan terkait hak asuh. Akibatnya, banyak kasus berakhir dengan konflik berkepanjangan, bahkan tak jarang melibatkan tindakan main hakim sendiri atau perebutan paksa yang menimbulkan trauma bagi anak.
"Jadi menurut saya, pascaputusan MK No 14/PUU/2023, Mahkamah Agung seharusnya segera menyusun peraturan yang mengatur mekanisme eksekusi terhadap putusan pengadilan berkekuatan tetap ketika pemegang hak asuh anak sudah ditetapkan pada ibu atau bapak," kata dia.
Adapun pada kasus parental abduction dari pernikahan campur atau beda negara, Ahmad menilai Indonesia perlu meratifikasi Konvensi Den Haag 1980. Tanpa ratifikasi ini, Indonesia akan kesulitan menangani kasus di mana anak dibawa lari oleh mantan pasangan berkewarganegaraan asing.
Pada Selasa (11/2/2025), para ibu korban parental abduction/child abduction resmi membuat aduan ke posko “Lapor Mas Wapres!” di Kantor Sekretariat Wakil Presiden, Jakarta. Aduan ini diharapkan bisa menggugah negara untuk bisa hadir membantu mereka bertemu kembali dengan anak-anaknya.
Parental abduction diartikan sebagai tindakan pengambilan anak secara paksa oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan pihak yang memiliki putusan tetap hak asuh anak. Pada 2024, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa parental abduction merupakan tindak pidana sesuai dengan pasal 330 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).