Jumat 11 Jul 2025 19:15 WIB

Meski Canggih, AI Disebut tak Bisa Gantikan Dokter Diagnosis Penyakit

Penggunaan AI dalam pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya dilarang.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Robot AI bekerja di bidang layanan kesehatan (ilustrasi). Seberapa canggih AI dinilai tidak bisa menggantikan peran dokter untuk mendiagnosis penyakit.
Foto: Dok. Freepik
Robot AI bekerja di bidang layanan kesehatan (ilustrasi). Seberapa canggih AI dinilai tidak bisa menggantikan peran dokter untuk mendiagnosis penyakit.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di berbagai sektor terus meluas, termasuk dalam bidang layanan kesehatan. Namun, terkait penggunaannya untuk diagnosis penyakit, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Digital Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya, R Wijaya Kusumawardhana, menilai penggunaan AI dalam ranah ini memiliki risiko tinggi yang perlu menjadi perhatian serius.

Menurut dia, meskipun AI menawarkan potensi besar dalam mempercepat dan meningkatkan efisiensi proses diagnosis, akurasi dan keandalannya belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan untuk kasus-kasus medis yang kompleks. Ia menyoroti bahwa sistem AI, secanggih apapun, belajar dari data yang dimasukkan; jika data yang digunakan tidak lengkap, bias, atau memiliki kesalahan, maka hasil diagnosis yang diberikan AI pun dapat menjadi tidak akurat, bahkan menyesatkan. 

Baca Juga

"Pada layanan kesehatan tidak boleh sejauh itu (penggunaan AI), itu berisiko tinggi karena mencakup keselamatan nyawa seseorang," kata Wijaya di Kantor Kemkomdigi, Jakarta pada Jumat (11/7/2025).

Menurutnya, penggunaan AI dalam pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya dilarang, tetapi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada teknologi tersebut. Meskipun AI dapat digunakan untuk membantu diagnosis penyakit, namun pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter tetap diperlukan untuk mendapatkan hasil yang akurat.

"Apalagi penyakit-penyakit udah berhubungan penyakit dalam. Itu harus lebih hati-hati lagi," ujar Wijaya.

Peran dokter tetap krusial dalam mendiagnosis dan memberikan pengobatan serta tidak bisa digantikan oleh AI karena dalam pemeriksaan kesehatan pasien terdapat kode etik kedokteran dan medis yang harus dipatuhi. "AI menerbitkan resep sendiri itu tidak boleh karena harus berbasis daripada (pemeriksaan) manusia," ucapnya.

Dia mencontohkan, pada platform layanan kesehatan daring tidak sepenuhnya bisa menangani semua penyakit, terutama penyakit berat dan kompleks. Pasien tetap diminta untuk melakukan pemeriksaan langsung seperti MRI dan CT Scan agar mendapat diagnosis yang tepat. "Misalnya ada benjolan, dia (dokter) harus tanya MRI atau CT scan untuk ingin tau jangan-jangan benjolan ini memang betul kanker atau hanya sekadar limfoma," kata Wijaya.

Wijaya mengungkapkan Kemkomdigi menargetkan regulasi yang mengatur pemanfaatan AI memasuki tahap legislasi pada awal bulan Agustus 2025.

"Berharap dalam akhir bulan ini (Juli) sudah bisa atau awal bulan depan (Agustus) sudah masuk legislasi. Jadi sudah dibahas lintas kementerian," kata dia.

Menurutnya, saat ini Kemkomdigi tengah menjalani proses pembahasan lintas kementerian dan lembaga terkait regulasi AI. Setelah pembahasan itu membuahkan kesepakatan, rancangan regulasi tersebut akan dibawa ke Kementerian Hukum untuk kemudian menjalani proses legislasi. Wijaya mengatakan, pihaknya mengharapkan regulasi tersebut nantinya akan berbentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau tingkatan di atasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement