AMEERALIFE.COM, JAKARTA Penyakit ginjal di Indonesia dinilai menunjukkan tren mengkhawatirkan. Jika sebelumnya penyakit ini lebih banyak menyerang usia lanjut, kini pasien gagal ginjal di kalangan muda pun semakin meningkat.
Dokter spesialis penyakit dalam subspesialis ginjal hipertensi, dr Elizabeth Yasmine Wardoyo, mengatakan peradangan ginjal atau glomerulonefritis menjadi penyebab utama ginjal kronik pada usia muda. Peradangan pada ginjal sering kali disebabkan oleh penyakit autoimun, yang membuat sistem imun menyerang ginjal sendiri.
“Obesitas bisa juga menjadi faktor risiko, tapi autoimun tetap menjadi penyebab yang lebih dominan pada peradangan ginjal di kalangan muda,” kata dr Yasmine dalam diskusi kesehatan ginjal yang digagas Kalbe Farma di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Selain autoimun, faktor genetik juga berperan dalam penyakit ginjal. Salah satu kondisi yang perlu diwaspadai adalah Polycystic Kidney Disease (PKD) yaitu penyakit turunan yang menyebabkan tumbuhnya banyak kista di ginjal. Meski tidak semua kista berbahaya, namun jika jumlahnya banyak dan terus membesar, PKD bisa menyebabkan gagal ginjal.
“Saat ini pengobatan khusus untuk PKD belum masuk dalam asuransi BPJS. Memang sedang kita perjuangkan juga agar itu bisa masuk ke BPJS,” kata dr Yasmine.
Menurut dia, salah satu tanda awal penyakit ginjal adalah munculnya air kencing berbusa, yang menandakan adanya kebocoran protein (albuminuria). “Kalau kita buang air kecil, kita harus lihat berbusa atau tidak. Kalau berbusa, segera periksakan urine ke dokter. Jika hasil pemeriksaan ditemukan protein dalam urine, kondisi ini harus segera ditangani untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut,” kata dia.
Dokter Yasmine yang berpraktik di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, mengatakan pasien termuda yang ditangani di poli penyakit dalam yaitu usia 18 tahun. Namun menurut dia, di poli anak, kemungkinan akan ada pasien yang lebih muda dari usia tersebut.
Seiring meningkatnya kasus penyakit ginjal pada anak muda, dr Yasmine mengajak masyarakat untuk melakukan pemeriksaan rutin, terutama bagi mereka yang memiliki risiko tinggi. Misalnya memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ginjal atau konsumsi obat tertentu dalam jangka panjang.
“Pemeriksaan dini bisa dilakukan melalui urinalisis sederhana dan tes kreatinin darah. Jika berisiko, sebaiknya diperiksa setiap enam bulan sekali. Kalau tidak ada faktor risiko, cukup setahun sekali,” kata dr Yasmine.
Mengingat beberapa penyakit ginjal bersifat genetik, skrining kesehatan sebelum menikah dinilai penting untuk mengetahui risiko gangguan ginjal pada anak di masa depan. Dengan skrining ini, pasangan bisa lebih waspada terhadap kemungkinan penyakit ginjal turunan dan mengambil langkah pencegahan sedari dini.