Kamis 10 Jul 2025 16:30 WIB

UU Hak Cipta Dinilai Masih 'Kabur', Bikin Musisi Ketakutan

Menurut Marcell Siahaan, ada penafsiran liar sejumlah frasa di UU Hak Cipta.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Penyanyi Marcell Siahaan. Menurut Marcell, UU Hak Cipta dinilai masih kabur sehingga membuat musisi ketakutan tampil di ruang publik.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Penyanyi Marcell Siahaan. Menurut Marcell, UU Hak Cipta dinilai masih kabur sehingga membuat musisi ketakutan tampil di ruang publik.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Musisi Marcell Siahaan menyoroti adanya kekaburan norma dalam sejumlah pasal di Undang-Undang Hak Cipta (UU Hak Cipta) di Indonesia. Menurutnya, hal ini menimbulkan berbagai efek negatif, termasuk rasa ketakutan di kalangan musisi untuk tampil di ruang publik, bahkan setelah mereka membayar royalti melalui mekanisme resmi yang berlaku.

Marcell menyampaikan pernyataan itu pada sidang lanjutan pengujian materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (10/7/2025). Dia hadir mewakili Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik (PAPPRI) selaku pihak terkait dalam perkara tersebut.

Baca Juga

"Kekaburan ini telah menimbulkan efek domino berupa ketakutan di kalangan musisi untuk tampil di ruang publik, pembatalan kerja sama kegiatan pertunjukan, beban ganda terhadap promotor dan penyelenggara acara, bahkan penggunaan ancaman pidana untuk menekan pelaku pertunjukan yang telah membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif," kata dia.

Menurut Marcell, dalam praktik dewasa ini, muncul penafsiran liar sejumlah frasa dalam norma pasal di Undang-Undang Hak Cipta yang menimbulkan ketidakpastian hukum, keresahan, dan kriminalisasi terhadap pelaku pertunjukan. Dia menyoroti frasa "jasa penggunaan secara komersial ciptaan" pada Pasal 9 ayat (3), frasa "orang" dan "membayar imbalan" pada Pasal 23 ayat (5), frasa "kecuali diperjanjikan lain" pada Pasal 81, frasa "imbalan yang wajar" pada Pasal 87 ayat (1), dan ancaman pidana pada Pasal 113 ayat (2) huruf f.

Menurut Marcell, frasa-frasa tersebut menimbulkan kesalahan multitafsir serta bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan rasa aman karena tidak jelas mengatur mekanisme pembayaran royalti secara proporsional dan memadai. Dia mengatakan frasa-frasa yang multitafsir itu membuka ruang kriminalisasi, meskipun royalti telah dibayar, mengaburkan tanggung jawab hukum antara pelaku pertunjukan dan penyelenggara acara, serta melemahkan otoritas Lembaga Manajemen Kolektif yang dibentuk dan diakui negara.

Marcell menjelaskan sistem pengelolaan royalti di Indonesia sejatinya ditegaskan pada Pasal 89 ayat (1) hingga (3) UU Hak Cipta, bahwa royalti di bidang lagu dan/atau musik wajib dikelola melalui Lembaga Manajemen Kolektif nasional. Ketentuan itu mencerminkan prinsip perizinan kolektif wajib. Dengan kata lain, sistem hukum Indonesia memilih pendekatan manajemen kolektif eksklusif dan terpusat sebagai bentuk pengelolaan hak ekonomi atas karya lagu maupun musik di ranah publik.

"Sistem manajemen kolektif dalam hukum nasional Indonesia bukan kebijakan opsional, melainkan kebijakan hukum nasional yang bersifat wajib yang dipilih secara sadar dan strategis oleh pembentuk undang-undang," kata Marcell.

Untuk itu, ketentuan dalam Undang-Undang Hak Cipta yang masih membuka ruang multitafsir yang seolah-olah memungkinkan pemungutan langsung atau pembebanan tanggung jawab langsung kepada pelaku pertunjukan dinilai kontradiktif. Di sisi lain, Marcell menekankan pelaku pertunjukan merupakan subjek hukum yang paling rentan jika sistem kolektif tidak dipertegas. Tak ayal, pelaku pertunjukan sering jadi sasaran tuntutan somasi hingga laporan pidana, meskipun telah membayar royalti.

"Oleh karena itu, PAPPRI berpandangan bahwa penafsiran konstitusional terhadap pasal-pasal multitafsir dalam undang-undang kita adalah suatu keniscayaan," ujar Marcell.

Pada hari ini, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan untuk Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 37/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan keterangan pihak terkait. Perkara Nomor 28 dimohonkan musisi Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH) serta 27 musisi kenamaan lainnya, sementara Perkara Nomor 37 diajukan grup musik Terinspirasi Koes Plus (T’Koes Band) serta lady rocker pertama Saartje Sylvia.

Salah satu latar belakang Armand Maulana dan kawan-kawan mengajukan perkara ini, yaitu kasus yang dialami penyanyi Once Mekel. Mantan vokalis grup musik Dewa itu dilarang membawakan lagu-lagu Dewa. Jika pun tetap membawakan lagu Dewa, Once mesti mendapatkan izin dan membayar royalti secara langsung kepada pencipta lagu.

Sementara itu, T’Koes Band dan Saartje Sylvia mengadu ke MK karena pengalamannya dilarang mementaskan lagu-lagu karya Koes Plus per tanggal 22 September 2023. Larangan itu dikeluarkan para ahli waris dari Koes Plus.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement