AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Anak sulung kerap diminta untuk mengalah kepada adiknya dalam berbagai situasi, mulai dari berebut mainan hingga memilih tontonan. Meski terdengar sepele, kebiasaan ini ternyata bisa berdampak negatif pada perkembangan emosional dan psikologis si kakak.
Psikolog pendidikan anak dan remaja Bernadette Cindy mengungkap beberapa dampak psikologis yang bisa dialami oleh anak yang kerap diminta mengalah. Salah satunya, anak tersebut berpotensi merasakan kecemburuan dan perasaan tidak adil.
"Kakak dapat merasa diperlakukan tidak setara yang bisa menimbulkan sibling rivalry (persaingan saudara) dan membuat anak merasa hubungan dengan orang tua kurang hangat," kata Cindy saat dihubungi Republika.co.id pada Kamis (10/7/2025).
Selain itu, ketidaksetaraan dalam perlakuan juga bisa mengganggu hubungan antarsaudara. Rasa kesal karena selalu diminta mengalah dapat memperburuk kualitas interaksi antara kakak dan adik. Anak sulung bisa menarik diri, menghindari adiknya, atau justru sering terlibat konflik yang berulang.
Cindy juga mengungkapkan bahwa anak yang terus diminta mengalah bisa mengalami penurunan keberhargaan diri atau self-esteem. Mereka bisa merasa kebutuhannya tidak penting dan bahwa pendapat serta perasaannya tidak layak diperjuangkan.
"Dalam jangka panjang, anak bisa tumbuh dengan konsep diri negatif, seperti merasa dirinya tidak penting, selalu menjadi penanggung beban, atau merasa harus terus berkorban," ujar Cindy.
Dampak lainnya, anak mungkin akan kesulitan mengungkapkan kebutuhan dirinya di luar rumah, termasuk di lingkungan sekolah atau dalam pertemanan. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang pasif atau menyimpan kemarahan dalam diam.
"Kemarahan yang tidak tersalurkan dapat menumpuk dan berubah menjadi resentment (kekesalan mendalam). Anak bisa menjadi lebih mudah marah, menarik diri, atau menunjukkan perilaku agresif pasif," kata Cindy.
Untuk mencegah dampak tersebut, Cindy menyarankan agar orang tua lebih bijak dalam menangani konflik antar kakak-adik. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menenangkan anak yang sedang emosi, kemudian mendengarkan keduanya tanpa menyalahkan atau menghakimi.
Orang tua juga disarankan untuk memvalidasi perasaan masing-masing anak dan menunjukkan empati, misalnya dengan mengatakan, "Ayah/lbu paham kalau kalian marah dan sama-sama ingin bermain mainan itu".
Setelah itu, ajak anak untuk berdiskusi dan mencari solusi bersama. Idealnya, kata Cindy, keputusan atau kesepakatan datang dari anak sendiri, bukan ditentukan oleh orang tua. Dalam hal ini, orang tua berperan sebagai fasilitator dan mediator.
"Dengan begitu, anak belajar menyelesaikan konflik secara adil dan merasa dihargai. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan diri dan memperkuat hubungan antar saudara," kata Cindy.