AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Italian Fashion School (IFS) mengirimkan tiga desainernya untuk menampilkan koleksi mereka dalam perhelatan Indonesia Fashion Week (IFW) 2023. Salah satu di antaranya akan membawa "rumah" khas Sumba ke atas panggung mereka besok, Jumat (24/2/2023).
Salah satu desainer IFS, Ali Eunoia, menceritakan inspirasi koleksinya dari sebuah film Indonesia berjudul Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. Di film ini juga memperlihatkan bentuk rumah khas Sumba yang ditempati Marlina bersama sang suami.
“Jadi aku akan bawa rumah Sumba ini ke acara besok,” ujar Ali dalam konferensi pers yang digelar di Gedung IFS Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (23/2/2023).
Cerita tentang perjuangan perempuan Tanah Sumba mencari keadilan, akan dia tumpahkan ke dalam koleksinya. Tidak hanya keindahan, Ali juga ingin membawa pesan semangat berjuang.
Rumah adat yang ditempati Marlina juga menjadi simbol mengungkung perempuan. Penggambaran patriarki dalam film ini menegaskan bahwa perempuan tugasnya hanya di rumah. “Ada beberapa research yang aku baca bahwa rumah adat itu simbol pengungkungan,” kata Ali lagi.
Koleksi garapan Ali merupakan sebuah coat yang berbahan dari jerami, persis seperti atap rumah Sumba. Ketika coat-nya dilepas, akan terlihat pola yang membentuk rumah.
“Terinspirasi juga dari siluet-siluetnya di film Marlina, jadi nanti ada siluet rumahnya kami aplikasikan di baju," ujarnya.
Ali merupakan Co-Founder Batik Tepaselira, dan biasanya membuat baju flowy. Tetapi untuk IFW 2023, ia menampilkan baju berbahan tenun yang belum pernah dicoba. Bahan tenunnya sendiri sudah dipersiapkan sejak dua bulan sebelum IFW.
Pemilihan Sumba berkaitan dengan tema utama IFW 2023, “Sagara dari Timur”, yang memang ingin mempromosikan kebudayaan timur Indonesia. Begitu pula dengan dua desainer IFS lainnya Khadeja Alattas dan Nafisyah, yang kemudian IFS mengusung satu tema besar yakni "Florescent".
Khadeja terinspirasi dari adat pernikahan masyarakat Nagekeo yang ada di Flores. Mas kawin dinilai bagian dari kesakralan dalam sebuah pernikahan. Masyarakat Flores menyebut mas kawin sebagai Belis, dan mas kawin ini identik dengan gading gajah.
“Pada koleksi ini, aku ingin menunjukkan sisi lain yang indah dari mas kawin khas Nagekeo, jadi tiga koleksi baju-baju pernikahan khas Nagekeo,” kata dia dalam kesempatan yang sama.
Sementara Nafisyah menuangkan pemikiran seorang tokoh pejuang perempuan NTT, Francisca Fanggidaej, dalam koleksinya. Nafisyah menampilkan "pemberontakan" dari perspektif yang berbeda, dan bersumber dari cerita sejarah perjuangan Francisca Fanggidaej dalam melawan penjajahan.