Psikolog Tim Kasser dari Knox College di Illinois, Amerika Serikat, menyoroti bahwa nilai-nilai materialis turut dipopulerkan oleh para pemilik jenama lewat iklan media massa. Banyak konten iklan di era 1950-an di AS fokus pada kekayaan, status, citra, dan kepemilikan.
"American Dream" bukan lagi tentang kebebasan menjalani hidup, melainkan kesuksesan dengan garasi dua mobil dan kulkas mewah. Tren itu meningkat hingga 1980-an dan terus berlanjut walaupun ada juga gerakan kontra seperti punk, grunge, dan hipster.
Saat ini, para komentator terkadang mengomel tentang tayangan flexing berupa konten bersponsor yang sebenarnya merupakan kesepakatan dengan jenama tertentu. Nyatanya, tayangan konsumerisme juga jadi cara yang lebih murah dan mudah bagi jenama untuk beriklan, daripada menayangkan iklan televisi.
Dengan semua kondisi itu, Kasser tetap menyarankan untuk mewaspadai flexing karena itu bisa membahayakan kondisi psikologis. Setelah meninjau lebih dari 200 penelitian, Kasser menyampaikan efek negatif bagi orang yang mendukung materialisme.
Semakin besar dukungan seseorang terhadap konsumerisme, semakin buruk kesejahteraan mental orang tersebut. Mereka menjadi kurang berempati, kurang prososial, dan lebih kompetitif.
"Mereka cenderung tidak mendukung kelestarian lingkungan, lebih cenderung mendukung keyakinan yang merugikan dan diskriminatif," tutur Kasser, dikutip dari laman Wired.