AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Buat remaja-remaja yang tumbuh pada dekade akhir 1990-an dan awal milenium baru, album-album awal Slipknot, band metal asal Iowa AS, seperti serangan sensorik. Ia makhluk baru yang sukar didefinisikan.
Dari sisi akustik, musik Slipknot brutal. Raungan distorsi dua gitar listrik, hentakan drum dengan pedal ganda yang intens ditimpali dua lagi perkusi, suara-suara aneh yang keluar dari turntable dan sampler, teriakan-teriakan dan repetan lirik-lirik nihilistik.
Dari pencitraan tak kalah mengejutkan. Sembilan (!) pria bertopeng menyeramkan yang pada awalnya benar-benar misterius, meminta dikenali dari angka semata, nol sampai delapan. Video klip-video klip mereka menampilkan hal-hal seram dan menjijikkan, demikian juga sampul album dan citra-citra lainnya. "Maggot" alias "Belatung", begitu mereka menamai penggemar.
Di panggung, suara dan citra itu ditimpali dengan aksi-aksi berbahaya. Saling pukul di antara anggota band, lompatan-lompatan dari ketinggian, dan banyak lagi aksi berbahaya dan terkesan menjijikkan.
Anehnya, orang-orang terutama remaja dan anak muda, suka. Paket komplit itu begitu menyihir remaja-remaja di berbagai belahan dunia.
"Kami ingin jadi band rock nomor satu di dunia," kata sang pendiri Shawn Crahan yang mengenakan topeng badut, dalam berbagai kesempatan wawancara menerangkan alasannya merancang tampilan Slipknot.
Yang ditawarkan Slipknot adalah pelarian dari konformitas. "Gue dulu waktu dengar Slipknot seperti pergi ke tempat lain," ujar Adi, seorang metal head dari Jogjakarta. Ia pertama kali mendengar Slipknot lewat album kedua, Iowa, rekaman paling gelap dan paling depresif band tersebut.
Tak pernah dalam benak Adi bakal menyaksikan langsung band tersebut di Indonesia. Buatnya, penantian menyaksikan Slipknot tak hanya sejak ia membeli tiket awal Festival Hammersonic pada 2019 yang kemudian sempat batal gegara pandemi. Penantiannya sudah sejak pertama kali membuka membuka sampul kaset album Slipknot tersebut saat masih duduk di SMA.
"Noises, noises, people make noises. People make noises when they're sick! Nothing to do except hold on to nothing!”
Puluhan ribu penonton ikut berteriak saat vokalis Corey Taylor menyanyikan lirik dari lagu "Disasterpiece" sebagai pembuka penampilan mereka memuncaki Festival Hammersonic 2023 di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta Utara, Ahad (19/3/2023) malam. Adi tentunya semringah mendengar lagu dari album Slipknot yang pertama kali ia dengarkan itu.
Sukar tak merinding saat mendengarkan ribuan orang menyanyikannya serentak. Sukar tak merinding melihat puluhan ribu tangan mengacung ke udara bersama-sama melemparkan salam metal. Sukar tak merinding merasakan semacam ikatan kuat antara penampil dan penonton.
"Kalian keluargaku!" teriak Corey Taylor pada penonton di sela-sela lagu.
"Terlalu lama kami menunggu untuk bisa sampai ke sini," ujarnya membalas kerinduan penggemar di Indonesia.
DJ Sid Wilson sejak awal penampilan telah bergerak rancak. Bila tak sedang mengawaki turntable, ia kesana kemari memprovokasi sambil membawa imitasi robotik kepalanya sendiri.
Topeng gas yang biasa jadi ciri khasnya di masa awal Slipknot tak ada lagi. Sebuah karya abstrak yang kini di kepalanya. Suara-suara dari turntable-nya ditingkahi raungan sample Craig Jones.
Sang pendiri, Shawn Crahan dengan topeng badut merah tampak mudah pekerjaannya. Sesekali menggebuk perkusi sambil mengomandoi penonton.
Barangkali itu kemewahannya sebagai pendiri. Yang jauh lebih sibuk adalah perkusionis lainnya, Michael Pfaff yang masuk belakangan menggantikan Chris Fehn.
Duo gitaris Jim Root dan Mick Thompson tak pernah terlihat berkomunikasi di panggung. Namun, saling timpal gitar mereka menunjukkan kekompakan luar biasa. Membuat musik Slipknot sedemikian padat, membentuk dinding-dinding suara yang solid mengelilingi dan seperti menjebak pendengar.