Drummer Joey Jordison yang pada masa lampau adalah salah satu atraksi utama konser Slipknot dengan kecepatan kakinya menginjak pedal bas, telah dikeluarkan lalu meninggal beberapa waktu lalu. Telah berpulang juga pembetot bass Paul Gray.
Mereka berdua, bersama Crahan, adalah pendiri dan pencipta banyak sekali lagu-lagu Slipknot. Beruntung, pengganti Jordison, Jay Weinberg, tak kalah mumpuni soal menggebuk drum. Tempo Slipknot yang tergolong lekas dan kerap berubah-ubah itu bisa ditanganinya dengan baik.
Sementara Taylor, pada usianya yang telah menginjak kepala lima, masih bisa bernyanyi dan menggeram dengan apik. Dia punya rentang nada masih lebar. Dari geraman di nada rendah hingga nyanyian-nyanyian di nada yang lebih tinggi.
Tak heran, dengan teknik yang mumpuni itu, penonton mudah saja digerakkan. Di kedua sisi penonton, lingkaran moshpit tercipta, biasanya merupakan tanda apresiasi yang ditunggu-tunggu musisi metal saat tampil di panggung. Puluhan ribu penonton terlihat serentak mengangguk-angguk saat tiba bagian-bagian groovy dari lagu-lagu Slipknot.
Tatkala lagu-lagu populer semacam "Wait and Bleed", "Heretic Anthem", atau "Before I Forget" dilantunkan, bahkan penonton di tempat-tempat terjauh dari panggung ikut bersenandung sampai tampak itu urat leher.
"Kalian adalah salah satu kerumunan paling menakjubkan yang pernah kami saksikan," ujar Taylor menjura.
Pada akhirnya, Slipknot bukan sekadar musik keras. Ia adalah juga sirkus brutal yang menyerang indera-indera manusia. Atraksi yang entah bagaimana bisa menangkap dan memerangkap gundah gulana kaum muda.
"Mungkin karena itu anak-anak sekarang suka bacok-bacokan, Bang. Jarang dengar metal, mereka," ujar Balee, seorang metal head dari Jakarta Timur.