WAMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Selama satu dekade terakhir, terjadi peningkatan nyata masalah kesehatan mental remaja. Sejumlah studi menyoroti fakta mengkhawatirkan bahwa jumlah kasus depresi pada anak di Inggris dan Amerika Serikat melonjak drastis.
Sebuah studi pada 2021 tentang data pasien dari hampir 2,5 juta remaja Inggris menunjukkan bahwa untuk hampir setiap kelompok usia, tingkat kecemasan dan depresi telah meningkat. Pada anak perempuan, gangguan kecemasan mulai terlihat sejak usia 13-19 tahun.
Data lebih lanjut dari Youth Risk Behavior Survey (YRBS) yang berbasis di AS menunjukkan kekhawatiran serupa. Ada peningkatan stabil pada kasus depresi dan risiko bunuh diri remaja sejak 2011. Peningkatan itu terpantau lebih jelas pada anak perempuan.
Menurut profesor psikologi Pete Etchells, menentukan dengan tepat pemicu masalah itu tidaklah mudah. Akan tetapi, selama beberapa tahun terakhir, sejumlah psikolog menyoroti bahwa teknologi digital, khususnya media sosial, sebagai faktor pendorongnya.
Namun, Etchells mengaku tidak sepakat. Dia bilang, memang sangat menggoda untuk berpikir bahwa interaksi serta kehidupan digital di Tiktok, Instagram, Facebook, dan Snapchat adalah penyebab krisis kesehatan mental anak, tapi dia yakin ada sesuatu yang lain.
"Kita perlu menyadari bahwa masalah kesehatan mental adalah hal yang kompleks, dan oleh karena itu tidak akan pernah dapat dijelaskan oleh satu faktor sederhana atau beberapa faktor yang disebut secara bergantian, seperti smartphone dan media sosial," kata Etchells, dikutip dari laman Science Focus, Kamis (3/8/2023).
Bersamaan dengan peningkatan penggunaan media sosial, ada banyak kemungkinan faktor lain yang mengimbas krisis kesehatan mental anak. Itu termasuk peningkatan masalah kesehatan mental orang tua, stigma terhadap kesehatan mental, kesulitan finansial, stresor pendidikan, dan banyak lagi.
Alih-alih bertanya "Apakah penggunaan media sosial menyebabkan masalah kesehatan mental?", Etchells merekomendasikan pertanyaan yang lebih baik. Misalnya, "mengapa beberapa orang berhasil mendapat manfaat dari interaksi online, sementara yang lain benar-benar mengalami kesulitan?".
Etchells menyoroti, ada semakin banyak bukti penelitian yang menunjukkan bahwa kehidupan online sesungguhnya mencerminkan kehidupan offline dengan cara yang penting dan terkadang tidak dapat dibedakan, bahwa keduanya bukanlah entitas yang terpisah.
Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan offline seseorang dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh dunia online-nya. Selain itu, studi menunjukkan bahwa jenis masalah mental, fisik, dan sosial yang ada dalam kehidupan anak-anak dapat memprediksi jenis masalah yang mereka hadapi secara online.
Peneliti dari Bath Spa University, Inggris, itu merasa tidak masuk akal menganggap media sosial dan teknologi digital sebagai akar penyebab masalah kesehatan mental. Dia berpendapat, akan lebih berguna untuk menganggap keduanya sebagai lensa di mana masalah dan ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya diredam atau diintensifkan.
Media sosial dan teknologi digital dianggapnya bagian dari ekosistem yang lebih luas dari faktor-faktor yang saling terkait dan timbal balik yang memengaruhi ketahanan dan kesehatan mental. Jika orang dewasa benar-benar peduli untuk memahami mengapa krisis kesehatan mental anak terjadi, perlu dilakukan penanganan holistik dan tidak hanya menyalahkan satu sumber.
"Teknologi digital tidak akan hilang, dan jika kita membatasi aksesnya dengan cara yang salah, kita menghilangkan potensi anak-anak dan remaja untuk mengembangkan keterampilan dan kompetensi yang sangat dibutuhkan, di samping sumber hubungan sosial yang penting," ujar penulis buku Lost in a Good Game tersebut.