AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyampaikan, mahasiswa S-1 nantinya tidak akan lagi diwajibkan membuat skripsi. Bagaimana menurut pandangan mahasiswa dan mahasiswi di Indonesia terkait hal ini?
Fisidea Mariska (20 tahun), mahasiswi semester 5 Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah, mengaku lelah menjadi bahan uji coba kurikulum sekolah dan kuliah. Dari sisi penghapusan skripsi, dia lebih setuju skripsi tetap ada. Menurutnya, dari awal diadakan skripsi juga pasti ada manfaatnya.
"Soal stres atau enggak tuh kemampuan masing-masing buat mencari jalan keluar dari suatu masalah. Anggap aja latihan buat nanti menghadapi sistem di kerja," ujar Fisidea kepada Republika.co.id, Rabu (30/8/2023).
Ia mengatakan, daripada mengubah "masalah"-nya, mengapa tidak mencari jalan keluar? "Enggak bisa mandirikah mahasiswa? Nanti output mahasiswa lulus enggak bisa 'sekelas' mahasiswa zaman dulu," ujarnya.
Berbeda dengan Fisidea, Syafira Dwi Annisa (23 tahun) mahasiswi semester 10, jurusan kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) justru setuju skripsi dihapuskan. "Aku setuju sih kalau skripsi dihapuskan karena menurut aku agak enggak adil aja kalau skripsi menjadi tolok ukur kelulusan. Sedangkan ada beberapa mahasiswa yang lebih baik jika terjun langsung ke dunia pekerjaan dibandingkan dengan harus melakukan penelitian," ujar perempuan yang akrab disapa Fira ini.
Menurutnya, akan lebih baik ada beberapa pilihan tugas akhir untuk kelulusan, bukan hanya skripsi dan tugas akhir tertulis lainnya. Menurut Fira, skripsi juga jadi salah satu faktor utama stres mahasiswa akhir karena dalam mengerjakan skripsi mereka juga diharuskan menggunakan pedoman penulisan yang baik, kajian jurnal yang relevan, penelitian terdahulu, sumber yang kredibel. Bahkan untuk menentukan judul saja harus terdapat bayangan dalam penelitian yang akan dibuat.
"Jadi dalam penulisannya kita tidak bisa asal mengerjakan," ujar Fira.
Dia menyebut hal itu menyebabkan banyak mahasiswa yang terkadang stres karena judul penelitian yang selalu ditolak atau revisi karena tidak sesuai pedoman, hingga penelitian yang tidak berjalan lancar. "Karena itu, dengan dihapuskannya skripsi dapat mengurangi angka stres pada mahasiswa," ujarnya.
Dia berpendapat, selain menurunkan angka stres mahasiswa, penghapusan skripsi dapat meringankan mahasiswa untuk lulus. "Banyak dari mahasiswa yang bayar untuk joki skripsi agar lulus dengan cepat," ujarnya.
Meski begitu, Fira mengakui penghapusan skripsi juga ada dampak negatifnya. Menurutnya, skripsi itu seperti meneliti kembali apa yang telah dipelajari selama perkuliahan. Jadi mungkin, kata dia, minusnya mahasiswa jadi tidak bisa merasakan terjun langsung dalam meneliti hal yang sudah dipelajari di lapangan.
"Tapi menurut aku, banyak juga kok mahasiswa yang melakukan penelitian untuk skripsi hanya karena formalitas," ujarnya.
Wildhan Rian Safrudin (23 tahun), mahasiswa semester 7 Universitas Indraprasta (Unindra) mengakui ada sisi pro dan kontra penghapusan skripsi. Untuk segi pronya, menurut Wildhan, skripsi membutuhkan waktu, biaya, dan sumber daya yang besar, yang mungkin tidak sebanding dengan manfaatnya bagi mahasiswa dan masyarakat.
Selain itu, skripsi sering kali tidak relevan dengan dunia nyata dan kebutuhan industri. "Skripsi itu dapat digantikan dengan bentuk pembelajaran lain yang lebih praktis, kreatif, dan inovatif, seperti proyek, magang, atau artikel ilmiah-ilmiah," ujarnya.
Sedangkan sisi kontra menentang penghapusan skripsi, menurutnya skripsi itu salah satu bentuk penelitian ilmiah yang penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan solutif mahasiswa. Skripsi merupakan salah satu syarat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau mendapatkan beasiswa.
"Skripsi merupakan salah satu kontribusi ilmiah yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan tinggi dan reputasi perguruan tinggi," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kemendikbudristek secara resmi menyatakan bahwa tugas akhir mahasiswa program sarjana (S1) dan sarjana terapan (D4) tidak harus dalam bentuk skripsi. Hal tersebut disampaikan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim saat meluncurkan Merdeka Belajar Episode ke-26, Selasa (29/8/2023).
Aturan terbaru mengenai skripsi mahasiswa diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Dalam permendikbudristek tersebut disebutkan bahwa mahasiswa S-1 atau D-4 tidak lagi wajib dikenakan skripsi sebagai syarat kelulusan. Namun, peraturan itu tidak diberlakukan rata di setiap program studi kampus. Hanya prodi yang sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek maupun bentuk lain yang sejenis yang bisa tidak mewajibkan skripsi.