AMEERALIFE.COM, JAKARTA---Sekitar satu dari tiga anak di Indonesia rentan untuk mengalami anemia defisiensi zat besi. Ironisnya, anemia defisiensi zat besi sering kali tak menimbulkan gejala, khususnya pada anak.
"Sudah dilakukan penelitian di Amerika Serikat. Sebagian besar (kasus) anemia, terutama pada anak, tidak menimbulkan gejala," ungkap Scientific Affairs, Research and Evidence Lead Danone Indonesia, dr Tonny Sundjaya Msc, dalam jumpa pers bersama Danone Indonesia dan Sarihusada di Jakarta, belum lama ini.
Minimnya gejala membuat orang tua bisa tidak menyadari bahwa anak mereka mungkin mengalami anemia defisiensi zat besi. Hal ini tentu berisiko karena anemia defisiensi zat besi bisa menimbulkan beberapa dampak buruk bagi kesehatan dan tumbuh-kembang anak.
Dalam jangka pendek misalnya, anemia defisiensi zat besi pada anak bisa menyebabkan perkembangan otak terhambat. Padahal, sekitar 90 persen proses perkembangan otak terjadi hingga anak berusia lima tahun. "Jangan sampai (anemia pada anak) terlewat," lanjut dr Tonny.
Mengingat anemia defisiensi zat besi sering tak bergejala, satu-satunya cara untuk mendeteksi kondisi tersebut lebih awal adalah melalui skrining. Saat ini, lanjut dr Tonny, pemeriksaan skrining anemia bisa dilakukan tanpa menggunakan jarum atau menusuk jari. "(Anemia) harus diketahui dari awal dengan skrining, kalau ditemukan, harus ditindaklanjuti," tambah dr Tonny.
Hal serupa juga direkomendasikan oleh pakar gizi klinik dan Presiden Indonesian Nutrition Association (INA), Dr dr Luciana B Sutanto MS SpGK(K). Pada anak, skrining anemia sebaiknya mulai dilakukan sejak anak berusia dua tahun. "Meskipun tidak ada gejala," tutur Dr Luciana.
Terkadang, lanjut Dr Luciana, anak dengan anemia sebenarnya sudah menunjukkan sejumlah gejala seperti sedikit lesu atau lemas. Tak jarang, gejala yang muncul berupa penurunan nilai di sekolah.
"Nilainya kurang bagus mungkin masalahnya bukan di kecerdasan (tetapi karena anemia)," ujar Dr Luciana.