AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Dari banjir, gempa, hingga kebakaran hutan, peristiwa cuaca ekstrem menjadi semakin umum terjadi di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun banyak konsekuensi negatif yang terkait pola cuaca ekstrem, sebuah tim dari The Ohio State University telah menemukan dampak negatif lain yang mengejutkan yaitu meningkatnya pernikahan anak.
Kesimpulan ini didasarkan pada tinjauan sistemik terhadap 20 penelitian sebelumnya yang mencakup dan menghubungkan kekeringan, banjir, dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya dengan peningkatan pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Secara keseluruhan, menurut Fiona Doherty, penulis utama studi dan kandidat doktor dalam bidang pekerjaan sosial di Ohio State, penelitian ini menjadi bukti kuat bahwa pernikahan anak yang dipaksakan masih menjadi masalah dalam skala global.
“Apa yang dilakukan oleh bencana-bencana ini adalah memperburuk masalah ketidaksetaraan gender dan kemiskinan yang sudah ada, yang membuat keluarga-keluarga melakukan pernikahan anak sebagai mekanisme penanggulangan," jelas Doherty seperti dilansir Study Finds, Kamis (7/9/2023).
Di seluruh dunia, diperkirakan satu dari lima anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun. Di antara negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, angka tersebut berkisar di angka 40 persen.
Lebih buruk lagi, menurut salah satu penulis studi, Smitha Rao, asisten profesor pekerjaan sosial di Ohio State, angka-angka tersebut mungkin akan meningkat lebih tinggi di tahun-tahun mendatang seiring dengan perubahan iklim yang meningkatkan frekuensi kejadian cuaca ekstrem.
"Kompleksitas seputar pernikahan anak dan cuaca ekstrem akan semakin memburuk di tengah perubahan iklim," ujar Rao.
Studi yang dianalisis untuk proyek ini semuanya diterbitkan antara tahun 1990 dan 2022. Studi-studi tersebut menyelidiki apakah dan bagaimana cuaca ekstrem berhubungan dengan pernikahan anak. Dalam kebanyakan kasus, anak perempuan berusia di bawah 18 tahun.
Sebagian besar penelitian dilakukan di negara-negara berpenghasilan rendah atau menengah di Asia dan Afrika. Contohnya adalah Bangladesh, India, Pakistan, Kenya, Nepal, dan Vietnam.
Peristiwa ekstrem yang paling umum didokumentasikan dalam penelitian tersebut adalah kekeringan dan banjir, tetapi beberapa di antaranya berfokus pada dampak angin topan, gempa, gelombang panas, dan bencana lainnya. Proyek-proyek tersebut mengungkapkan pengaruh bencana tersebut terhadap pernikahan anak dalam berbagai konteks.
Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan di Bangladesh mencatat bahwa selama tahun-tahun dengan gelombang panas yang berlangsung lebih dari 30 hari, anak perempuan berusia 11 hingga 14 tahun memiliki kemungkinan 50 persen lebih besar untuk menikah. Demikian pula, anak perempuan berusia antara 15 dan 17 tahun juga 30 persen lebih mungkin untuk menikah.
Para penulis studi mengatakan, sebagian besar dari fenomena ini bermuara pada faktor ekonomi. "Perkawinan anak sering dilihat sebagai strategi penanggulangan untuk mengurangi kerentanan ekonomi dan kerawanan pangan yang dihadapi keluarga karena bencana," kata Doherty.
Studi lain menemukan, anak-anak perempuan menikah dini di Bangladesh setelah Topan Aila, kemungkinan besar sebagai cara untuk mengatasi beban ekonomi dan pangan yang ditimbulkan oleh topan tersebut. Dalam kasus lain, pernikahan dini didorong untuk menyediakan tenaga kerja bagi keluarga.
Sementara itu, ketika kekeringan melanda Kenya dan mengancam sumber air serta ternak setempat, sebuah proyek penelitian mencatat bahwa pengantin muda sangat diperlukan untuk membantu memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Adat istiadat daerah seperti mas kawin dan mahar juga merupakan faktor penting dalam semua ini. Di wilayah yang mempraktikkan mahar (sub-Sahara Afrika, Vietnam), di mana keluarga mempelai pria membayar keluarga mempelai wanita, anak perempuan ditemukan memiliki risiko lebih tinggi untuk dipaksa menikah saat terjadi kekeringan dan curah hujan yang tinggi.
Rao mengatakan, banyak penelitian menunjukkan berbagai dampak dari bencana cuaca yang pada akhirnya menyebabkan lebih banyak pernikahan anak. Masyarakat yang mengungsi akibat banjir, angin topan, dan bencana lainnya seringkali berakhir di kamp-kamp pengungsian di mana anak-anak perempuan menjadi sasaran pelecehan dan kekerasan seksual.
"Keluarga terkadang membuat pilihan untuk menikahkan anak perempuan mereka yang masih kecil dalam situasi seperti ini untuk melindungi mereka dari pelecehan dan kekerasan seksual," kata Rao.
Rao menambahkan, anak perempuan yang kurang berpendidikan cenderung dinikahkan secara dini. Namun, penelitian juga mengungkapkan bahwa ketika pendidikan orang tua meningkat, anak perempuan cenderung tidak akan menikah lebih awal.
Selain pendidikan, para peneliti menekankan bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengakhiri tren ini. Salah satu tindakan yang jelas, menurut mereka, adalah dengan melarang pernikahan anak secara hukum di negara-negara tersebut. Pendekatan lainnya adalah dengan membantu keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi yang sering kali menyebabkan pernikahan dini.