AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dimas Dwi Saputro menegaskan Indonesia memerlukan integrasi kurikulum bencana. Kurikulum tersebut dinilai diperlukan dalam pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA).
“Pendidikan di Indonesia harus mempunyai kurikulum penanganan bencana dan cara berlindung dari bencana gempa bumi,” kata dia dalam diskusi daring bertajuk “Antisipasi Permasalahan Kesehatan Anak Pada Situasi Gempa Bumi” di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Di tingkat pendidikan TK, ia optimistis bahwa mengajarkan konsep bermain sambil berlindung dapat dilakukan dengan mudah. “Statistik mengatakan gempa itu paling lama tujuh sampai 10 menit tidak lebih daripada itu, tapi rata-rata gempa itu berkisar satu sampai tiga menit,” kata dia.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa dengan melatih anak-anak untuk berlindung di bawah meja yang kokoh dapat menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesiapsiagaan mereka terkait dengan bencana berupa gempa bumi. “Hal seperti itu dapat memberikan dasar penting bagi anak-anak untuk memahami prinsip keselamatan dalam menghadapi bencana, seperti gempa. Jadi kita doktrin anak kita kalau ada gempa jangan panik lindungi kepala dan tetap waspada,” ujarnya.
Dimas mengatakan penerapan pendekatan mitigasi bencana gempa bumi dapat berbeda-beda sesuai dengan usia anak-anak. “Jadi untuk anak-anak beda-beda usia beda-beda pula cara pendekatannya dengan usia remaja,” kata dia.
Dia mengemukakan tentang perlunya memahami tahap perkembangan anak agar strategi mitigasi dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan setiap kelompok usia. Selain itu, kata dia, hal tersebut dapat menciptakan pendekatan yang lebih efektif dan relevan dalam melibatkan anak-anak sebagai upaya pencegahan dan respons terhadap bencana gempa.
“Untuk anak-anak yang lebih besar, penting juga mereka diajarkan bagaimana membantu adik-adik mereka dalam mempersiapkan perlengkapan pribadi saat menghadapi gempa,” kata Dimas.