AMEERALIFE.COM, Jakarta, pagi itu hangat. Kami datang lebih awal dari jadwal yang disepakati, tapi sosok yang kami akan wawancarai telah datang lebih dulu. "Selamat datang," katanya sambil menghampiri, mengulurkan tangan hangat. Pria berusia 89 tahun lalu itu masih mengingat dengan rinci—tentang sejarah, cinta, dan prinsip hidup yang tak pernah berubah.
Setiap pukul tiga pagi, saat sebagian besar orang masih terlelap, Andi Wijaya sudah terjaga. Ia membuka jurnal ilmiah, membaca riset-riset terbaru dan menyusun presentasi dibantu sekretarisnya.
“Kalau kita baru bangun, otaknya belum terisi segala macam hal. Jadi masih jernih dan mempelajari sesuatu akan dengan gampang.” jelas Andi.

Bermula dari Kesalahan Golongan Darah
Gedung pusat Prodia di Jakarta tak ubahnya pabrik masa depan. Lantai-lantai penuh mesin otomatis, serum-serum yang tersimpan rapi hingga satu bulan, dan sampel yang berjalan di atas ban otomatis seperti dalam film fiksi ilmiah. Tapi siapa sangka, raksasa sains ini dimulai dari rumah sederhana yang disewa seharga Rp180 ribu untuk lima tahun, di Jalan Pasar Nongko 83, Solo. Meja kursi dibuat sendiri. Alat laboratorium pinjaman mahasiswa Atmajaya.

Semua bermula dari sebuah kekeliruan. Di sebuah rumah sakit, Andi dan tiga rekannya didiagnosis bergolongan darah O. Padahal dua di antara mereka bergolongan darah AB.
“Saya bilang ke dokter yang mau operasi, hati-hati. Ini ngawur. Rumah sakit ini bahkan nggak bisa periksa golongan darah dengan benar,” kenangnya.
Tantangan sang dokter datang spontan: “Kalau begitu, kenapa kalian nggak bikin lab sendiri?” Jawaban Andi juga sederhana: “Saya nggak punya uang.”
Tapi dari jawaban itu muncul tekad. Bersama Gunawan Prawira, Hamdono Widjojo, dan Singgih Hidayat, ia mengumpulkan modal—masing-masing Rp45 ribu. Rumah kecil disulap jadi laboratorium.
Pasien pertama mereka adalah tetangga sendiri. Penderita diabetes. Omzet bulan pertama hanya Rp37.500. Gaji karyawan pun tak tentu. “Saya bilang ke Titi, karyawan pertama kami, kamu belumbisa gajian sekarang. Nanti tanggal 63 mungkin,” katanya sambil tertawa mengenang masa-masa sulit.
Goresan Pensil dan Cinta yang Tak Luntur
Di ruang kerjanya Andi Wijaya menceritakan sosok yang ia anggap paling berjasa di balik kesuksesan Prodia. “Sosok yang paling berjasa adalah istri saya. Karena beliau selalu mendukung apa yang saya lakukan. Jadi saya tetap mengajar di perguruan tinggi, tetap meneliti, tetapi saya juga melakukan bisnis. Beliau tidak pernah protes dan bahkan mendukung. Dan itu yang membuat saya jadi seperti sekarang.” tutur Andi bergetar.
Istrinya adalah mahasiswi cantik dan populer di kampus. Andi di ITB, dambaan hatinya di Parahyangan. Andi sadar dirinya bukan pria dengan banyak daya saing. Ia hanya punya satu cara: menggambar.
“Jadi dengan saya yang lukis itu diam-diam. Pakai pensil. Kemudian waktu saya melamar. Saya kasihkan lukisan itu kepada istri saya. Dan lukisan itu, jadi benda kesayangannya disimpan terus.” ucapnya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
Setelah istrinya wafat, Andi tak sanggup lagi tinggal di rumah lama mereka di Bandung. “Lima puluh tahun kami tinggal di sana. Terlalu banyak kenangan. Jadi saya pindah ke Jakarta,” katanya, menunduk. Suaranya tercekat.
Cinta Pertama Bernama Sains
Ilmu pengetahuan adalah cinta pertama Andi. Ia pernah menimba ilmu di Jerman. Berteman dengan Joseph Goldstein, ilmuwan peraih Nobel yang menemukan reseptor LDL (kolesterol jahat). “Teman saya menemukan reseptor LDL. Dari situ muncul obat statin untuk kolesterol. Ia dapat Nobel. Saya? Cukup dapat paten,” katanya merendah sambil tersenyum.
Paten itulah yang ia jadikan modal membuka tiga cabang Prodia: Jakarta, Medan, dan Bandung. Dari satu laboratorium kecil, Prodia kini memiliki 360 outlet di 80 kota dan 24 provinsi. Prodia juga satu-satunya laboratorium di Indonesia yang mendapat akreditasi College of American Pathologists (CAP) sejak 2012. CAP adalah lembaga independen asal Amerika Serikat yang menetapkan standar tertinggi di dunia dalam bidang laboratorium klinik dan patologi.
“Saya katakan saya bisa buktikan sains dan bisnis bisa jadi satu. Justru dengan sains gabung dengan bisnis, kita selalu menjadi proper di depan. Bisnisnya jadi bisa maju.” tutur Andi.
Kini ia menatap masa depan: precision medicine, genomic medicine, digital medicine, regenerative medicine. Ia mendirikan laboratorium stem cell untuk penyelamatan pasca penyakit degeneratif seperti stroke. "Delivering life saving. Itu misi kita. Saya bilang ke tim, jangan mikir bisnis dulu. Fokus menyelamatkan nyawa. Nanti bisnis datang sendiri.” ujarnya tegas.

Epilog: Ketika Sains Menjadi Cinta
Wawancara kami usai menjelang siang. Tapi pelajaran hari itu lekat di hati. Bagi Andi Wijaya, sains bukan cuma rumus atau teknologi. Ia adalah bentuk cinta—pada istri, pada hidup, dan pada manusia yang bisa diselamatkan. Kunci bisnis menurutnya adalah komitmen, kesabaran, dan kejujuran.
“Biasanya orang mau cepat kaya. Kalau cepat kaya ngelakuin segala hal yang tidak benar.
Korupsi dan sebagainya. Bisnis yang tidak benar dan sebagainya. Kalau kita bisnisnya benar. Tidak korupsi otaknya. Tidak rese misalnya untuk urutan begitu. Kita secara jujur pasti berhasil. Jaminan.” tegas Andi.
Ketika kami berpamitan, Ia masih berdiri mengantar, seolah energi masa mudanya belum pudar. Di dinding belakang, terpajang lukisan pensil seorang perempuan muda yang pernah ia cintai dan kini sudah tiada. Di bawahnya, tulisan kecil berbunyi:
Love Forever.