AMEERALIFE.COM, JAKARTA — Salah satu kebiasaan buruk yang harus dicegah orang tua adalah memberikan kental manis untuk anak dan balita. Guru Besar Gizi Universitas Muhammadyah Jakarta (UMJ) Tria Astika mengatakan, dari penelitian yang dia lakukan, persepsi masyarakat masih melihat kental manis sama dengan susu.
Menurut dia, studi ini menjadi penting karena pola makan yang terbentuk sejak balita akan terbawa terus hingga dewasa. "Kebiasaan memberikan kental manis untuk anak dan balita ini harus dicegah sedini mungkin supaya tidak berlanjut,” kata Tria dalam siaran pers, Ahad (17/12/2023).
Dia mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang dia lakukan, sebanyak 11,4 persen balita di Banten, 8,4 persen di DKI Jakarta, dan 5,3 persen di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengonsumsi kental manis. Tidak hanya itu, 78,3 persen responden di Banten, 88,1 persen di DKI dan 95,2 persen di DIY memberikan kental manis kepada balitanya lebih dari satu sachet perhari.
“Adapun faktor utama pemberian kental manis pada anak ini disebabkan oleh persepsi masyarakat di tiga wilayah ini yang masih menganggap kental manis adalah susu,” jelas dia.
Hal itu dia sampaikan dalam urun rembuk yang dilakukan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah, PP Muslimat NU dan para mitra di Jakarta, Kamis (14/12/2023) lalu. Pada kesempatan itu, muncul pembahasan, stunting adalah ujung dari persoalan rendahnya literasi gizi masyarakat.
Literasi gizi atau pemahaman dan kesadaran gizi masyarakat mempengaruhi pola asuh dan pola konsumsi keluarga. Keluarga tanpa pemahaman gizi yang baik cenderung tidak memperhatikan asupan gizi anak, sehingga anak terbiasa mengkonsumsi makanan yang mereka suka, seperti makanan dan minuman dengan kandungan gula garam lemak yang tinggi.
Ketua Bidang Advokasi YAICI Yuli Supriati menyoroti kampanye penanganan stunting yang selama ini digaungkan tidak berdasar pada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Dia menyebutkan, selama ini narasi mengatasi stunting adalah dengan ASI ekslusif.
Menurut dia, seorang ibu bukannya tidak mau memberikan ASI ekslusif untuk anaknya, tapi karena tidak mampu, karena bekerja, karena kondisi kesehatan dan ibu meninggal.
“Anak-anak yang tidak mendapat ASI ekslusif ini larinya ke kental manis,” jelas Yuli membeberkan temuan-temuannya saat berdialog dengan masyarakat.
Penata Lependudukan dan KB Ahli Madya Maria Gayatri yang turut hadir dalam kesempatan itu mengakui, persoalan kental manis seharusnya mendapat perhatian lebih. Lebih lanjut, dia mengatakan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat ini sedang melakukan audit kasus stunting. Hal ini untuk mengetahui faktor-faktor resiko penyebab stunting.
“Susu kental manis ini jarang sekali dibahas di BKKBN, nanti akan disampaikan ke pimpinan,” ujar Maria.
Dokter anak RS Mayapada Kurniawan Satria Denta mengatakan, salah satu kunci mencegah stunting adalah kualitas protein yang diberikan untuk anak. Menurut dia, protein yang paling baik adalah protein hewani, telur, ikan susu, ini jenis protein hewani yang tersedia di sekeliling masyarakat. Selain itu, dia juga menyoroti masifnya informasi yang beredar di masyarakat juga memicu pola makan yang salah pada anak.
“Di Tiktok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum satu bulan. Saat ibu-ibu lain melihat dan mereka tidak dibekali edukasi gizi yang cukup, bisa saja dia meniru perilaku ini. Ini menurut saya juga harus di atasi,” kata dia.
YAICI dengan para mitra berkomitmen untuk terus meningkatkan upaya edukasi, memperkuat pemahaman tentang gizi yang baik, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah serta pihak terkait guna mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan gizi buruk dan stunting. Hasil dari urun rembuk bersama para mitra tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan seluruh stakeholder terkait untuk bersama-sama bergerak mengatasi stunting.