AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Kasus perundungan siber menjadi kekhawatiran global saat ini. Terlebih, banyak dari korban perundungan siber merupakan anak-anak.
Di Indonesia misalnya, data dari UNICEF pada 2020 menunjukkan 45 persen individu berusia 14-24 tahun di Indonesia mengalami perundungan siber. Sedangkan menurut Pew Research, sekitar 75 persen atau 3 dari 4 orang mengalami perundungan siber melalui media sosial.
Secara umum, perundungan siber merupakan perundungan yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. Perundungan ini bisa terjadi melalui media sosial, platform berkirim pesan, platform gim, hingga ponsel pintar. Pola dari perundungan siber terjadi secara berulang dengan tujuan menakuti, memicu amarah, atau mempermalukan korban.
Ada tiga macam bentuk perundungan siber yang cukup umum ditemukan di era digital seperti saat ini. Ketiga bentuk perundungan siber tersebut adalah menyebarkan kebohongan atau foto memalukan dari korban di media sosial, mengirimkan pesan yang mengancam atau menyakitkan kepada korban lewat platform berkirim pesan, atau berpura-pura menjadi korban dan mengirimkan pesan bermuatan buruk kepada orang lain melalui akun palsu.
Terkadang, korban mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami perundungan siber. Terlebih, bila pelaku merupakan teman sendiri dan kerap menutupi perbuatannya dengan dalih bercanda.
Perlu diingat bahwa candaan seharusnya membuat kedua belah pihak merasa senang dan tertawa bersama, bukan hanya menertawai satu orang saja. Bila korban sudah meminta pelaku untuk menghentikan candaan tersebut tapi tidak digubris, maka kemungkinan besar candaan yang dilakukan oleh pelaku adalah sebuah perundungan.
"Ketika perundungan terjadi secara daring, Anda bisa merasa seperti sedang diserang dari segala arah, bahkan saat berada di dalam rumah Anda sendiri. Rasanya seperti tidak ada tempat untuk bersembunyi," jelas UNICEF melalui laman resmi mereka, seperti dikutip pada Selasa (9/1/2024).
Oleh karena itu, perundungan siber bisa memberikan dampak yang sangat merugikan bagi korban dan tak boleh disepelekan. Dampak negatif ini bisa dirasakan oleh korban, baik secara mental, emosional, hingga fisik. Dalam hal fisik misalnya membuat korban menjadi sulit tidur dan mengalami keluhan sakit perut dan sakit kepala.
Menurut UNICEF, ada lima hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi perundungan siber. Berikut ini adalah kelima hal tersebut:
1. Korban dianjurkan minta bantuan
Ketika mengalami perundungan siber, coba cari bantuan kepada orang yang terpercaya seperti orang tua atau keluarga. Bila memungkinkan, coba cari bantuan dari sosok yang bisa dipercaya di sekolah seperti guru atau pelatih di kegiatan ekstrakurikuler.
Bila merasa tidak nyaman untuk bicara dengan orang yang dikenal, coba untuk mencari bantuan melalui tenaga profesional. Bila perundungan terjadi di media sosial, coba laporkan akun pelaku perundungan secara formal kepada pihak platform media sosial.
Akan sangat membantu bila korban mengumpulkan bukti terlebih dahulu sebelum melaporkan perundungan siber yang mereka alami kepada orang terdekat, tenaga profesional, atau platform media sosial. Bukti-bukti ini akan memberikan gambaran jelas mengenai situasi yang dialami oleh korban.
"Agar perundungan berhenti, perundungan itu perlu dikenali, dan melaporkan perundungan adalah kunci," ujar UNICEF.
2. Bantu teman yang menjadi korban
Ada kalanya korban tidak kuasa untuk membela dirinya sendiri saat mengalami perundungan siber. Dalam kondisi seperti ini, orang-orang di sekitar korban yang mengetahui adanya perundungan perlu ikut bertindak.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah meyakinkan korban dan menumbuhkan keberanian pada korban untuk melaporkan perundungan tersebut kepada orang yang terpercaya. Selain itu, penting juga untuk bersikap baik kepada korban agar korban tidak merasa sendirian dan tak dipedulikan.
3. Tak perlu jauhi internet
Ada banyak manfaat yang bisa didapatkan oleh orang-orang dengan mengakses internet. Oleh karena itu, menjauhi internet bukanlah solusi yang tepat bagi korban perundungan siber.
Sebagai alternatif, korban perundungan siber cukup menghapus aplikasi yang digunakan oleh pelaku untuk merundung. Alternatif lainnya, korban perundungan siber cukup menjauh dari internet untuk sementara waktu saja.
"Menjauh dari internet bukan solusi jangka panjang. Anda tidak melakukan kesalahan, jadi kenapa harus Anda yang menanggung kerugian (tidak bisa mengakses internet)?," ujar UNICEF.
4. Lindungi data pribadi
Ada kalanya, pelaku perundungan siber memanfaatkan data-data korban yang tersebar di media sosial. Oleh karena itu, UNICEF menganjurkan semua orang untuk berpikir dua kali sebelum mengunggah atau membagikan sesuatu di platform digital.
UNICEF juga menganjurkan agar orang-orang tidak membagikan data pribadi ke platform digital, seperti nomor telepon hingga nama sekolah. Manfaatkan juga fitur privasi dan blokir yang ada di media sosial untuk mengontrol orang-orang yang bisa melihat profil media sosial.
5. Manfaatkan perangkat antiperundungan
Sejumlah platform media sosial memiliki fitur yang dapat mempersulit aksi perundungan siber. Sebagian di antaranya adalah membatasi pengguna yang bisa memberikan komentar atau melihat unggahan serta fitur untuk melaporkan kasus perundungan. Banyak dari fitur-fitur ini yang bisa diakses dengan mudah.