AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menekankan pentingnya pendidikan seks sejak usia dini, utamanya pada remaja. Hal itu mengingat saat ini, kontak seksual pada usia remaja sudah semakin maju.
"Hasil hubungan atau kontak pertama seksualitas laki-laki dan perempuan di periode 2013-2015 puncaknya di usia 18 tahun, meski di usia 13-14 juga sudah terjadi kontak seksual, padahal di tahun 1990-an angka puncaknya di usia 20 tahun," ucapnya, Senin (26/2/2024)
Ia mengingatkan agar para orang tua ikut waspada dan turut memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi atau pendidikan seksual. Pasalnya, kontak seksual yang lebih dini atau early sexual intercourse tanpa pemahaman yang baik tentang reproduksi bisa menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan.
"Ini tantangan bersama, karena masih banyak yang menganggap bahwa pendidikan seks di usia dini itu tabu dilakukan orang tua. Yang dikhawatirkan itu, kalau semakin muda remaja melakukan intercourse, akan berdampak pada unwanted pregnancy, atau hamil di usia terlalu muda," katanya.
Ia juga mengingatkan, apabila semakin banyak kehamilan tidak diinginkan di usia muda, maka dapat menyebabkan semakin banyak remaja yang putus sekolah, dan meningkatnya angka kematian ibu (AKI). Berdasarkan data, posisi AKI di Indonesia adalah 189 per 100 ribu kelahiran hidup. Jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Singapura yang angkanya hanya tujuh per 100 ribu kelahiran hidup.
"Juga angka kematian bayi yang akan meningkat, selain angka kematian ibu dan putus sekolah, sehingga mengakibatkan mereka tidak bekerja yang kemudian insecure di hari tua. Ini akan menjadi missed demographic dividend, atau tidak berhasilnya kita mencapai bonus demografi," ucapnya.
Selain itu, ia juga menyoroti angka perceraian yang terus meningkat. Sehingga, pihaknya terus menggencarkan edukasi tentang kesehatan reproduksi kepada calon pengantin.
"Kita bangun agar calon-calon pengantin bisa sehat secara umum maupun secara reproduksi, dan siap untuk menjadi keluarga yang berencana, juga tidak hamil kalau tidak direncanakan, sehingga tidak banyak unwanted pregnancy," kata Hasto.
Hasto menjelaskan, angka perceraian ini terus meningkat tajam akibat konflik antara suami dan istri, dimana berdasarkan data tahun 2021, angka tersebut mencapai 581 ribu. Sedangkan jumlah perkawinan di Indonesia rata-rata mencapai 1,9 juta per tahun, yang berarti hampir setengah dari jumlah perkawinan tersebut kandas akibat perceraian.
Ia juga menyebutkan bahwa permasalahan ekonomi dalam keluarga menjadi masalah terbesar kedua penyebab perceraian setelah konflik-konflik kecil dalam keluarga.
"Perselisihan di dalam keluarga yang kecil-kecil itu yang membuat perceraian paling banyak. Ekonomi nomor dua. Lalu, meninggalkan atau minggat dari rumah urutan nomor tiga, dan berikutnya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta mabuk," paparnya.