AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Banyak film komedi romantis memiliki adegan di mana tokohnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Hal ini tanpa sadar telah ditanamkan dalam diri banyak orang sejak usia muda. Namun, apakah cinta pada pandangan pertama benar-benar ada?
Psikolog klinis Carla Marie Manly menjelaskan bahwa gagasan "cinta pada pandangan pertama" sebenarnya merupakan konsep kuno. Hal itu didasarkan pada keyakinan bahwa seseorang dapat merasakan hubungan romantis yang mendalam dengan orang lain setelah pertama kali berjumpa dengan orang tersebut.
"Banyak orang ingin percaya pada 'cinta pada pandangan pertama', karena konsep tersebut memenuhi kerinduan alami manusia akan cinta romantis yang memang 'sudah ditakdirkan'," ungkap Manly, dikutip dari laman Best Life Online, Jumat (24/5/2024).
Penulis buku The Joy of Imperfect Love itu menjelaskan bahwa cinta pada pandangan pertama berbeda dengan ketertarikan fisik yang kuat terhadap seseorang saat pertama melihatnya. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada kedalaman dan durasinya.
Disampaikan Manly, cinta pada pandangan pertama lebih dari ketertarikan fisik saja. Bahkan, seseorang mungkin merasakan keterhubungan yang tidak dapat dijelaskan. Intuisi mungkin memberi tahu bahwa orang yang dijumpai cocok dengan diri.
Meski begitu, ada beberapa kesalahpahaman umum tentang cinta pada pandangan pertama. Pada kenyataannya, perasaan itu tidak selalu berbalas, berbeda dengan yang ada di film-film. Jikalau berhasil menjalin hubungan, bukan berarti tidak akan ada rintangan dalam romansa.
Cinta pada pandangan pertama juga belum tentu merupakan "suratan takdir" yang selama ini banyak diyakini. Pasalnya, menurut para pakar, cinta adalah fenomena yang dibangun secara komunikatif untuk membangun perasaan kedekatan emosional, kasih sayang, serta komitmen terhadap pasangan dan hubungan.
Courtney Hubscher dari GroundWork Cognitive Behavioral Therapy menjelaskan pendekatan sains tentang cinta pada pandangan pertama. Menurut penelitian, sesuatu yang banyak dikira banyak orang sebagai cinta pada pandangan pertama kemungkinan besar merupakan ketertarikan awal yang kuat.
"Reaksi neurokimia, seperti pelepasan dopamin dan oksitosin, memainkan peran penting dalam tahap awal ketertarikan ini, menciptakan perasaan euforia yang sering dikaitkan dengan jatuh cinta," kata Hubscher.
Berbicara tentang otak dan ilmu saraf, sebuah penelitian pada tahun 2021 secara khusus mempelajari "dorongan cinta pada pandangan pertama". Studi itu menemukan bahwa orang jatuh cinta lebih cepat saat mereka memang sedang ingin jatuh cinta. Menurut peneliti, partisipan yang memiliki keinginan untuk jatuh cinta lebih cepat menemukan pasangan yang tepat, sehingga kondusif untuk menjalin hubungan romantis.
Sisi baiknya, ada penelitian lain yang menunjukkan bahwa hubungan dari cinta pada pandangan pertama cenderung bisa bertahan lama. Terutama, jika pasangan memiliki kecocokan dalam hal-hal penting seperti kepribadian, minat, dan nilai hidup.
Hubungan juga disebut akan berhasil jika kedua pihak dalam relasi berupaya mengembangkan hubungan yang dibangun di atas fondasi yang lebih kuat daripada daya tarik fisik. "Cinta abadi harus dibangun di atas lebih dari sekedar nafsu fisik. Cinta membutuhkan keintiman emosional dan komitmen," ujar Beth Ribarsky, profesor di School of Communication and Media, University of Illinois Springfield, Amerika Serikat.