AMEERALIFE.COM, JAKARTA – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual sangat rentan mengalami stres, rendah diri, depresi, kecemasan, keinginan bunuh diri, hingga gangguan kebiasaan seksual. Menurut IDAI, untuk memulihkan mental korban, perlu dukungan dan pendampingan yang optimal dari berbagai pihak.
“Perlu pendampingan dari psikolog, bantuan dari satgas terkait, termasuk dari orang tua, lingkungan sekitar dan orang-orang terdekat agar korban bisa pulih. Karena kalau sudah terjadi (kekerasan seksual) memang sulit sekali menghilangkan trauma psikologisnya. Akan butuh lama,” kata anggota Satgas Perlindungan Anak Pengurus Pusat IDAI, Prof dr Meita Dhamayanti, dalam diskusi media yang digelar secara daring pada Kamis (20/6/2024).
Meita mengatakan berbagai dampak psikologis maupun fisik bisa dialami oleh semua anak korban kekerasan seksual, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jangan sampai, kata dia, ada perbedaan dalam hal perawatan atau pendampingan.
“Anak laki-laki juga banyak yang menjadi korban, dan menanggung beban psikologis yang sama besarnya. Dia juga akan melalui proses pemulihan yang sulit, sehingga tidak boleh ada perbedaan,” kata Meita.
Dia menyebut, menghilangkan trauma psikologis pada anak korban kekerasan seksual sangat menantang dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Terlebih jika korban merupakan anak usia dini yang belum bisa mengelola emosinya.
Menurut Meita, anak usia dini yang menjadi korban kekerasan seksual biasanya kesulitan untuk menganalisa apa yang dia alami. Pada akhirnya, anak tersebut akan menjadi lebih mudah marah, cemas, dan merasa ketakutan bahkan jika melihat seseorang yang mirip dengan pelaku.
“Korban kekerasan seksual yang masih usia dini itu akan merasakan dampak yang lebih panjang, dibandingkan dengan anak yang lebih besar. Karena memang secara usia perkembangan, anak pada usia lebih besar itu lebih bisa mengelola emosinya,” kata Meita.
Meita juga menyarankan agar proses pendampingan dan pemulihan korban kekerasan seksual dilakukan secara hati-hati. Misalnya, ketika bertanya terkait kronologi kejadian atau ciri pelaku, jangan sampai membuat anak merasa tertekan.
“Dalam penanganan korban juga harus sangat hati-hati, kalau kita tanya mereka secara berkali-kali tanpa melihat kondisi psikologis korban, maka kita sudah termasuk melakukan kekerasan terhadap korban kekerasan,” kata Meita.