AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan menyebutkan, membentuk perilaku seksual yang positif serta menanamkan pemahaman agar tidak mendiskriminasi orang dengan HIV (ODHIV) perlu dilakukan sedini mungkin untuk menangani situasi HIV/AIDS di Indonesia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Ina Agustina Isturini mengatakan pembentukan perilaku tersebut dimulai pada usia 10 tahun atau setingkat kelas 5 SD, karena pada saat ini anak sudah mengalami hal-hal terkait seksualitasnya, misalnya menstruasi.
Ina menilai, pengetahuan ini penting agar mereka dapat menjaga kesehatan reproduksinya, termasuk mencegah agar tidak terkena penyakit seksual menular seperti HIV/AIDS. Selain itu, perlu juga memberikan pemahaman untuk tidak mendiskriminasi atau menstigmatisasi ODHIV, karena hal itu merupakan salah satu penghalang penemuan kasus dan pengobatan.
Mengutip data Stigma Index 2023, dia menyebutkan bahwa 19,5 persen pasien mengalami diskriminasi oleh petugas kesehatan saat mengakses layanan kesehatan terkait HIV selama 12 bulan terakhir, sementara 15,9 persen mengalami diskriminasi saat mengakses layanan kesehatan non-HIV pada kurun waktu yang sama. Koordinator Nasional Inti Muda Indonesia Bella Aubree mengatakan bahwa selain tentang kesehatan reproduksi, membangun perilaku seksual yang sehat juga dengan mengajarkan pada anak tentang consent yaitu pernyataan untuk mau atau tidak terlibat dalam sesuatu, kebersihan diri, serta mengenalkan tentang bagian tubuh yang sensitif dan tidak boleh dipegang orang lain guna mencegah kekerasan seksual.
Saat anak sudah mengalami pubertas dan menjadi remaja, maka diajarkan tentang cara menjaga kesehatan organ reproduksi. Selanjutnya, kata Aubree, diajarkan tentang perilaku seksual, serta konsekuensinya, seperti HIV/AIDS.
Dia menyebutkan, ada modul edukasi seksualitas komprehensif (CSE) baik untuk lingkup sekolah dan luar sekolah. Adapun pihaknya, sebagai jaringan yang mewadahi populasi kunci muda, turut menyebarluaskan pendidikan itu melalui platformnya, agar dapat mengedukasi generasi muda yang tidak dapat bersekolah.
"Memang ada banyak yang perlu berperan, termasuk keluarga. Keluarga ini adalah salah satu yang wajib banget berperan dalam memberikan pendidikan seks ini," kata dia.
UNAIDS Country Director untuk Indonesia Muhammad Saleem mengatakan, kebijakan tentang pendidikan reproduksi berbeda di tiap negara, tergantung pada budaya dan agama, namun idealnya diberikan saat remaja. Adapun untuk pencegahan HIV melalui konteks pendidikan, dia mencontohkan, pihaknya mendorong sebuah kebijakan di Afrika yakni Education Plus, di mana anak-anak, terutama perempuan, didorong untuk fokus belajar selama 10 tahun.
"Pengalaman dan penelitian menunjukkan bahwa ketika para anak perempuan, juga anak laki-laki, tapi terutama anak perempuan, ketika mereka sekolah selama 10 tahun, selesai setidaknya sampai SMA, kemungkinan mereka mendapatkan masalah kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, adalah jauh lebih kecil," katanya.
Selain itu, kata Saleem, kekerasan berbasis gender juga lebih sedikit dibanding yang tidak sekolah. Adapun kebijakan tersebut dibuat karena banyaknya anak yang putus sekolah di Afrika.