Sabtu 12 Jul 2025 19:06 WIB

Waspada Myasthenia Gravis, Penyakit yang Sering Dikira ‘Kecapekan Kerja’

Gejala Myasthenia Gravis sering dikira sebagai tanda-tanda kelelahan biasa.

Red: Qommarria Rostanti
Diskusi kesehatan bertajuk Lebih dari Sekadar Lelah yang digelar Menarini Indonesia berkolaborasi dengan Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI) pada Sabtu (12/7/2025).
Foto: Dok. Menarini
Diskusi kesehatan bertajuk Lebih dari Sekadar Lelah yang digelar Menarini Indonesia berkolaborasi dengan Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI) pada Sabtu (12/7/2025).

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Di tengah tuntutan produktivitas yang kian tinggi dalam dunia kerja modern, banyak profesional muda cenderung mengabaikan rasa lelah ekstrem. Mereka kerap menganggapnya sebagai gejala burnout biasa.

Padahal, di balik asumsi tersebut, tersembunyi sebuah potensi bahaya yang mengintai yaitu Myasthenia Gravis (MG). Penyakit autoimun serius ini, jika tidak dideteksi dan ditangani dengan tepat, dapat mengancam jiwa.

Baca Juga

Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun neuromuskular kronis yang secara spesifik ditandai dengan kelemahan otot yang fluktuatif. Gejala-gejala khas seperti kelopak mata yang turun (ptosis), penglihatan ganda (diplopia), suara sengau, hingga kesulitan menelan sering kali disalahartikan sebagai tanda-tanda kelelahan biasa, stres, atau bahkan kurang tidur.

Akibatnya, keterlambatan dalam diagnosis menjadi hal yang lumrah terjadi, yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas hidup pasien secara drastis dan meningkatkan risiko komplikasi fatal. Komplikasi paling berbahaya adalah krisis miastenik atau gagal napas, kondisi darurat medis yang memerlukan penanganan intensif.

Dokter spesialis saraf RSCM dokter Ahmad Yanuar Safri menekankan dampak serius dari MG, tidak hanya secara medis, tetapi juga sosial dan ekonomi. Menurut dia, selain dapat menyebabkan kematian, penyakit ini juga menurunkan produktivitas kerja, membatasi aktivitas sosial, dan pada akhirnya menimbulkan dampak ekonomi dan sosial bagi pasien, keluarga, dan sistem kesehatan.

"Pasien MG memerlukan pengobatan yang tepat, konsisten, dan terjangkau untuk dapat mempertahankan kualitas hidup yang optimal. Dengan demikian, ketersediaan dan akses pengobatan sangatlah penting,” ujar Yanuar dalam diskusi kesehatan bertajuk “Lebih dari Sekadar Lelah” yang digelar Menarini Indonesia berkolaborasi dengan Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI) pada Sabtu (12/7/2025).

Ia mengatakan jika semua aspek tersebut dapat terpenuhi, pasien MG memiliki harapan besar untuk dapat diobati dengan tuntas dan kembali beraktivitas normal seperti sedia kala. Senada dengan dokter Yanuar, dokter spesialis saraf RS Brawijaya Saharjo dokter Zicky Yombana menyampaikan kekhawatirannya tentang minimnya kesadaran masyarakat.

"Pada saat ini banyak masyarakat yang mengabaikan gejala seperti kelopak mata yang sering turun atau suara yang tiba-tiba menjadi sengau, lalu menganggapnya hanya sebagai kelelahan biasa akibat tuntutan pekerjaan. Di era digital ini, banyak yang terjebak dalam 'jebakan dr Google', mencoba mendiagnosis diri sendiri dan menunda konsultasi medis yang krusial," ujar dokter Zicky dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.

Sebagai seorang dokter yang juga merupakan pasien Myasthenia Gravis, ia memiliki pemahaman mendalam tentang urgensi diagnosis dini. "Sebagai dokter sekaligus pasien, saya tahu persis betapa pentingnya diagnosis dini. Jika Anda merasakan kelemahan otot yang hilang timbul, segera berkonsultasi dengan dokter saraf. Itulah kunci untuk mencegah komplikasi berbahaya seperti krisis miastenik dan memungkinkan untuk kembali hidup secara produktif,” kata dia menjelaskan.

Perspektif pasien yang merasakan langsung dampak MG juga dibagikan oleh Annisa Kharisma, atau akrab disapa Tata, dari YMGI. Ia menceritakan kebingungannya saat gejala awal muncul dan sering kali diabaikan oleh lingkungan sekitarnya.

"Bagian terburuknya adalah kebingungan. Saya diberi tahu bahwa saya 'hanya lelah', 'stres karena pekerjaan', atau 'mungkin hanya butuh lebih banyak tidur'. Saya pun mulai meragukan diri saya sendiri,” ujar Tata.

“Lain kali jika ada seseorang yang berkata mereka 'lelah', saya harap Anda mengingat cerita saya. Mari kita bersama-sama membangun komunitas yang penuh kesadaran dan proaktif dalam memeriksakan kesehatan diri,” kata dia lagi.

Fakta medis menunjukkan bahwa pasien MG menghadapi risiko kematian yang lebih tinggi secara signifikan. Tingkat mortalitas pada pasien MG mencapai 14 persen dalam 5 tahun dan 21 persen dalam 10 tahun setelah gejala muncul. Risiko terbesar datang dari krisis pernapasan (krisis miastenik) yang membutuhkan perawatan intensif.

Presiden Direktur Menarini Indonesia Idham Hamzah, menegaskan komitmen perusahaannya dalam mendukung pasien MG. Dia menyebut Menarini tidak hanya berkomitmen menghadirkan terapi yang efektif, tetapi juga turut peduli terhadap kondisi dan perjuangan pasien yang hidup dengan penyakit ini.

"Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya kami untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit MG, agar pasien tidak terlambat didiagnosis dan dapat segera mendapatkan terapi yang tepat,” ujar Idham.

Kolaborasi antara Menarini Indonesia dan YMGI, bersama seluruh pemangku kepentingan seperti dokter, apoteker, asosiasi pasien, dan pemerintah, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran terhadap Myasthenia Gravis, mengurangi keterlambatan diagnosis, serta menjamin keberlanjutan terapi yang tepat demi masa depan pasien MG yang lebih baik. Kesadaran adalah kunci untuk mengubah stigma "hanya lelah" menjadi kewaspadaan terhadap ancaman yang lebih serius.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement