AMEERALIFE.COM, JAKARTA – Sebuah studi baru menemukan bahwa anak dengan kondisi fussy eating memiliki kelainan pada struktur otak. Fussy eating diartikan sebagai penolakan anak terhadap makanan baru maupun makanan yang telah ia kenal, atau anak tidak ingin mengonsumsi makanan dengan jenis, rasa, dan tekstur tertentu.
Kondisi ini sering kali membuat anak tidak dapat mencukupi kebutuhan gizinya. Penelitian yang dipimpin oleh University of Aberdeen ini merupakan studi pertama yang menggunakan neuroimaging untuk mempelajari otak anak-anak yang memiliki gangguan menghindari atau membatasi asupan makanan (Arfid). Mereka mengatakan, anak-anak yang menderita gangguan fussy eater memiliki perbedaan struktur otak.
Arfid, yang secara resmi diklasifikasikan sebagai gangguan pada 2013, dapat berdampak besar pada kesejahteraan fisik dan psikologis, termasuk kecemasan saat makan dan rendahnya variasi makanan. Untuk studi ini, para peneliti menganalisis pemindaian otak dari 1.977 anak berusia 10 tahun di Belanda, 121 (6 persen) di antaranya memiliki gejala Arfid. Mereka menemukan, anak yang memiliki gejala Arfid menunjukkan ketebalan kortikal yang jauh lebih besar di beberapa area tertentu dibandingkan dengan anak yang tidak menunjukkan gejala.
Kortikal otak merujuk pada lapisan luar otak yang disebut korteks seberal. Area ini berperan penting dalam memori, berpikir, penalaran, emosi, pemecahan masalah, hingga kesadaran seseorang.
“Banyak orang mungkin pernah mengalami fase tertentu di mana dia pilih-pilih makanan. Namun perlu digaris bahwa individu dengan Arfid mengalami konsekuensi kesehatan dan psikologis yang parah akibat gangguan makan mereka,” kata salah satu peneliti, dr Michelle Sader, dilansir dari Independent pada Jumat (3/1/2025).
Terdapat tiga faktor utama yang mendorong pembatasan makanan yang terkait dengan Arfid yakni kepekaan sensorik terhadap makanan, kurangnya minat terhadap makanan, dan rasa takut akan konsekuensi negatif yang terkait dengan makan, seperti tersedak atau muntah. “Beberapa gejala yang terkait dengan Arfid mungkin termasuk seseorang yang berjuang untuk mengidentifikasi kapan mereka lapar, konsumsi makanan yang sama secara konsisten, memiliki keragaman makanan yang rendah, kecemasan selama waktu makan, atau membutuhkan suplemen untuk memenuhi kebutuhan nutrisi,” ujar Sader.
Arfid atau fussy eater kerap dianggap sebagai fase biasa oleh masyarakat umum, padahal dampaknya bisa menanggung kesehatan fisik dan mental individu. Menurut Sader, gangguan ini bisa memengaruhi kualitas hidup dan perkembangan fisik anak, bahkan dapat menghambat pubertas karena tidak terpenuhi kebutuhan gizinya.
Karenanya ia berharap, studi yang diberi judul Far From Fussy Eaters dapat akan membantu para peneliti dan dokter untuk lebih memahami kondisi ini. Ia juga berharap penelitiannya dapat menginformasikan pendekatan komprehensif untuk pengobatan, manajemen, dan dukungan untuk Arfid. Temuan ini dipublikasikan dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry.