AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Deteksi dini dinilai menjadi salah satu kunci memberantas tuberkulosis (TBC) di Indonesia yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Direktur Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina, TBC merpakan penyakit yang bisa diobati.
"Asal cepat ditemukan dan bisa berobat hingga tuntas, dan TBC juga bisa dicegah dengan melakukan skrining atau deteksi dini," ujarnya di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Ina mengatakan Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan angka TBC tertinggi di dunia dengan estimasi mencapai 1.090.000 kasus dengan kematian mencapai 125.000 orang pada 2023. Sementara peringkat pertama ditempati India dengan estimasi mencapai 2.800.000 kasus dengan angka kematian mencapai 315.000 orang. Data tersebut merujuk pada laporan Global Tuberkulosis Report 2024.
Untuk kasus pada 2024 di Indonesia, Ina mengatakan terlaporkan sebanyak 860.100 kasus yang terkonfirmasi TBC. Dari jumlah tersebut 751.574 orang melakukan pengobatan.
"Tidak hanya masalah nasional, tapi global, diperkirakan sekitar 1 miliar kematian akibat TBC secara global dalam 200 tahun terakhir," kata Ina.
Deteksi kasus diperlukan agar penderita tidak saling menularkan. Pemahaman yang belum kuat di masyarakat soal TBC ini juga menjadi tantangan dalam upaya menekan angka penyakit menular tersebut.
Pemerintah, kata dia, telah mengidentifikasi sejumlah permasalahan dan menyusun langkah strategis untuk mempercepat penanggulangan penyakit ini. Salah satu strateginya, yakni optimalisasi skrining aktif menggunakan X-ray yang terintegrasi dengan pemeriksaan genetis. Selain itu, integrasi data informasi TBC menjadi fokus utama mengurangi kasus yang tak terlaporkan.
"Terintegrasi dalam pemeriksaan kesehatan gratis ada skrining dan penemuan aktif menggunakan X-ray. Sehingga, diharapkan kita lebih luas untuk menyaring pasien," kata dia.
Kendati demikian, menurut dia, penanganan TBC tidak bisa mengandalkan sektor kesehatan maupun pemerintah saja. Perlu kerja sama dari seluruh pihak, utamanya kerja sama pentahelix. "Jadi, kolaborasi lintas sektor mulai dari pusat hingga daerah, pelibatan akademisi, swasta, masyarakat, hingga media perlu dalam upaya ini," kata Ina.
Ia yakin melalui deteksi kasus TBC serta pengobatan yang berkelanjutan, angka kasus atau prevalensi TBC bisa ditekan. "Kita masih mengutamakan promotif dan preventif. Orang dengan risiko tinggi untuk kena TB, yakni kontak erat, kontak serumah, dan beberapa penyakit tertentu orang dengan HIV, diabetes melitus, atau kurang gizi, adalah orang-orang yang beresiko terkena TB," kata dia. Orang-orang ini, katanya, perlu dilakukan pemeriksaan memastikan tidak ada TB aktif dan minum obat pencegahan.