AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Dalam dinamika pendidikan anak, terkadang muncul potensi perbedaan perspektif antara orang tua dan pihak sekolah terkait dengan tujuan akhir pembelajaran. Orang tua terkadang memiliki ekspektasi yang lebih tinggi atau fokus yang berbeda dibandingkan dengan pendekatan holistik yang diterapkan oleh sekolah.
Menanggapi isu ini, Kepala Sekolah Cikal Bandung, Mohammad Rizky Satria, S.Pd,M.Pd, memberikan pandangan konstruktif mengenai penyebab ketidakselarasan tujuan itu. Rizky mengatakan ketidaksepahaman tujuan antara orang tua dan Sekolah Cikal Bandung merupakan kejadian yang relatif jarang. Namun, ia menyadari bahwa potensi perbedaan ini bisa muncul dalam konteks pendidikan secara umum.
Menurutnya, akar dari ketidaksamaan tujuan akhir capaian belajar ini dapat disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, adanya target yang ditetapkan oleh orang tua yang mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan potensi dan kemampuan unik anak. Kedua, adanya perbedaan pendekatan atau cara dalam mendampingi dan mengembangkan diri anak antara lingkungan sekolah dan lingkungan rumah.
Mengenai penyebab pertama, Rizky menyoroti bahwa terkadang orang tua cenderung memberikan penekanan yang berlebihan pada perkembangan kemampuan kognitif anak dibandingkan dengan aspek perkembangan lainnya. Kekhawatiran akan persaingan di masa depan seringkali menjadi pemicu utama dari fokus yang sempit ini. Dia mencontohkan, ketika orang tua lebih ingin menekankan kemampuan kognitif anak dibandingkan kemampuan lainnya karena khawatir anak tidak dapat bersaing pada masa depan.
"Sekolah dalam hal ini dapat memberikan pandangan yang dapat menggambarkan bahwa di dunia pendidikan saat ini yang tidak lagi menekankan pada penguasaan materi yang menekankan pada kemampuan kognitif, namun pada penguasaan kompetensi yang menekankan pada seluruh potensi diri secara komprehensif," ujar Rizky dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Rabu (30/4/2025).
Dalam konteks ini, sekolah berperan penting dalam memberikan perspektif yang lebih luas tentang tujuan pendidikan modern. Tidak hanya berfokus pada aspek akademis semata, tetapi juga pada pengembangan keterampilan sosial-emosional, kreativitas, kemandirian, dan potensi diri anak secara holistik.
Penyebab kedua ketidaksamaan tujuan pembelajaran adalah adanya perbedaan cara atau pendekatan dalam mendampingi anak antara lingkungan sekolah dan rumah. Rizky mengatakan ada situasi lainnya saat terjadi indikasi perbedaan tujuan, jika digali lebih dalam, sering kali yang ditemukan adalah ketidaksamaan cara. "Misalnya ketika sama-sama ingin memotivasi belajar anak dan orang tua lebih percaya pada kompetisi, sementara sekolah lebih ingin mendorong kolaborasi," ucap Rizky.
Perbedaan filosofi dalam mendidik ini dapat menciptakan kebingungan bagi anak dan menghambat proses pengembangan dirinya secara optimal. Menghadapi potensi perbedaan ini, Rizky menekankan bahwa langkah paling konstruktif yang dapat diambil oleh sekolah adalah membangun dialog yang terbuka dan jujur dengan orang tua.
Menurut dia, hal yang dapat dilakukan oleh sekolah adalah kembali membicarakan tujuan dan menemukan benang merah untuk cara yang dapat ditempuh bersama. Misalnya, jika diperlukan kompetisi sebagai stimulan, maka dapat diatur sesuai proporsinya, misalnya berkompetisi positif dalam sebuah perlombaan yang suportif atau berkompetisi dengan diri sendiri, menjadi lebih baik daripada yang sebelumnya.
"Alih-alih fokus pada perbedaan cara, selalu jadi lebih baik jika kita fokus pada kesamaan tujuan untuk mencari cara bersama-sama," kata dia.
Melalui dialog, kedua belah pihak dapat saling memahami perspektif masing-masing, mengidentifikasi nilai-nilai yang diyakini bersama, dan mencari solusi atau pendekatan yang paling sesuai untuk mendukung perkembangan anak. Sebagai seorang pendidik, Rizky menegaskan bahwa membangun pembicaraan atau berdialog secara berkala antara orang tua dan sekolah merupakan fondasi yang sangat penting dalam konteks pendidikan anak.
Dialog yang berkelanjutan memungkinkan sekolah untuk memahami harapan dan kekhawatiran orang tua, sementara orang tua juga mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang filosofi pendidikan, kurikulum, dan metode pengajaran yang diterapkan di sekolah. Dengan terbangunnya pemahaman dan kesepakatan bersama, tujuan pendidikan anak dapat diselaraskan, menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung perkembangan potensi anak secara maksimal.
Rizky menekankan dialog yang efektif harus didasarkan pada komunikasi yang terbuka, saling menghormati, dan keinginan untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu perkembangan optimal anak. Sekolah dapat mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan rutin dengan orang tua, baik secara individual maupun kelompok, untuk membahas perkembangan anak, kurikulum, dan berbagai isu terkait pendidikan.
Dalam dialog ini, penting bagi sekolah dinilai tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mendengarkan dengan seksama perspektif orang tua dan mengakomodasi kekhawatiran mereka sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang diyakini sekolah. Sebaliknya, orang tua juga diharapkan untuk terbuka terhadap pandangan sekolah dan bersedia untuk berkolaborasi dalam mendukung proses belajar anak di rumah.