Kamis 08 May 2025 19:18 WIB

Profesor Ini Jelaskan Cara Tahu Esai Bikinan AI, Nggak Perlu Aplikasi Canggih

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan mencolok antara esai buatan AI dan manusia.

Red: Qommarria Rostanti
AI (ilustrasi). Menurut studi, esai yang ditulis oleh manusia menggunakan lebih dari tiga kali lipat teknik keterlibatan pembaca dibandingkan dengan esai yang dihasilkan oleh ChatGPT.
Foto: Dok. Freepik
AI (ilustrasi). Menurut studi, esai yang ditulis oleh manusia menggunakan lebih dari tiga kali lipat teknik keterlibatan pembaca dibandingkan dengan esai yang dihasilkan oleh ChatGPT.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Kekhawatiran akan potensi kecurangan akademik yang difasilitasi oleh kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT semakin meningkat di kalangan akademisi. Meskipun AI mampu menghasilkan teks yang secara gramatikal benar dan terstruktur rapi, sebuah studi internasional terbaru yang dipimpin oleh Ken Hyland dari University of East Anglia mengungkapkan AI masih jauh tertinggal dalam meniru kualitas fundamental manusia dalam menulis yaitu kemampuan secara "murni" untuk terhubung secara dengan pembaca.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Written Communication ini menemukan bahwa esai yang ditulis oleh manusia menggunakan lebih dari tiga kali lipat teknik keterlibatan pembaca dibandingkan dengan esai yang dihasilkan oleh ChatGPT. Perbedaan signifikan ini terletak pada kemampuan penulis manusia untuk menyisipkan sentuhan pribadi, mengajukan pertanyaan retoris, dan secara langsung menyebut pembaca, elemen-elemen yang krusial dalam membangun koneksi dan membuat argumen menjadi lebih persuasif.

Baca Juga

Hyland yang bertindak sebagai penulis studi mengatakan ketidakmampuan AI untuk mereplikasi aspek-aspek keterlibatan pembaca ini dapat menjadi kunci bagi para profesor untuk mendeteksi esai yang ditulis oleh AI, bahkan tanpa bergantung pada perangkat lunak pendeteksi AI yang keakuratannya masih dipertanyakan. "Kekhawatirannya adalah bahwa ChatGPT dan alat tulis AI lainnya berpotensi memfasilitasi kecurangan dan dapat melemahkan keterampilan literasi inti dan berpikir kritis. Ini terutama terjadi karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi teks yang dibuat oleh AI secara andal," ungkap Hyland dikutip dari laman Study Finds pada Kamis (8/5/2025).

Studi ini secara cermat menganalisis ratusan esai, membandingkan 145 esai argumentatif yang ditulis oleh mahasiswa universitas di Inggris dengan 145 esai serupa yang dihasilkan oleh ChatGPT tentang topik yang sama. Fokus utama penelitian adalah pada "penanda keterlibatan" (engagement markers), yaitu perangkat retoris yang digunakan penulis untuk terhubung dengan pembaca, melibatkan mereka dalam percakapan, dan membimbing mereka menuju kesimpulan tertentu. Penanda keterlibatan ini mencakup elemen-elemen percakapan dalam tulisan yang membuat pembaca merasa penulis berbicara langsung kepada mereka atau melibatkan mereka dalam proses berpikir penulis.

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam penggunaan penanda keterlibatan antara esai manusia dan esai yang dihasilkan AI. Mahasiswa secara signifikan lebih sering menggunakan pertanyaan, sapaan pribadi (personal asides), dan penyebutan pembaca (reader mentions) untuk menciptakan rasa eksplorasi bersama dengan audiens mereka. Sebagai contoh, penulis mahasiswa seringkali menyisipkan pertanyaan tentang tanggung jawab ilmuwan terhadap beban global atau membuat observasi pribadi tentang identitas Inggris dan keterpisahan geografis dari Eropa kontinental. Elemen-elemen ini membangun hubungan percakapan dengan pembaca yang secara konsisten tidak ditemukan dalam teks yang dihasilkan oleh AI.

Sebaliknya, meskipun ChatGPT mampu menghasilkan tulisan yang secara teknis kompeten, AI ini kesulitan dalam mereplikasi elemen-elemen persuasif yang bersifat manusiawi. Model AI sangat bergantung pada pernyataan faktual dan daya tarik pada pengetahuan bersama (appeals to shared knowledge) tetapi jarang menggunakan sentuhan pribadi yang membuat argumen akademik menjadi menarik dan meyakinkan.

Hyland, profesor dengan lebih dari 300 artikel yang dipublikasikan dan 97.000 kutipan, menjelaskan penulis manusia secara sadar membangun model mental pembaca mereka dan menyesuaikan tulisan mereka sesuai dengan pemahaman tersebut. ChatGPT, meskipun memiliki kemampuan yang mengesankan, tidak dapat benar-benar memahami audiensnya atau mengantisipasi keberatan pembaca tanpa perintah spesifik.

"Esai AI meniru konvensi penulisan akademik, tetapi mereka tidak mampu menyuntikkan teks dengan sentuhan pribadi atau menunjukkan pendirian yang jelas," kata Hyland.

Salah satu kekurangan utama yang teridentifikasi dalam studi ini adalah ketidakmampuan ChatGPT untuk menggunakan sapaan pribadi (personal asides), yaitu penyimpangan singkat di mana penulis berbagi pemikiran atau komentar pribadi. Ketiadaan elemen ini menciptakan apa yang digambarkan oleh para peneliti sebagai teks yang lebih "tertutup secara dialogis" (dialogically closed), yang terasa impersonal atau "kosong". Tim peneliti percaya keterbatasan ini berasal dari pelatihan ChatGPT yang menekankan koherensi dan keringkasan daripada keaslian percakapan.

Selain itu, studi ini juga mengungkapkan bahwa ChatGPT gagal menggunakan daya tarik pada penalaran logis (appeals to logical reasoning) dalam esainya, menunjukkan bahwa AI mungkin lebih baik dalam mereproduksi informasi faktual daripada mengembangkan ide atau konsep yang kompleks. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengindikasikan bahwa model AI kesulitan dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills).

Implikasi dari penelitian ini sangat signifikan bagi mahasiswa dan pendidik. Bagi mahasiswa yang mungkin tergoda untuk menggunakan AI dalam tugas menulis mereka, studi ini memberikan bukti jelas bahwa tulisan AI saat ini kekurangan elemen manusiawi alami yang secara tidak sadar diharapkan oleh para profesor.

Bagi para pendidik, penelitian ini menawarkan penanda potensial untuk mengidentifikasi konten yang dihasilkan oleh AI tanpa harus sepenuhnya bergantung pada perangkat lunak pendeteksi, yang seringkali tidak konsisten. Penanda-penanda ini meliputi kurangnya pertanyaan retoris, sapaan pribadi, penyebutan pembaca, dan daya tarik pada penalaran logis yang kuat.

Lebih lanjut, para peneliti menyarankan agar alat seperti ChatGPT tidak hanya dipandang sebagai ancaman, tetapi juga sebagai alat bantu pengajaran yang berharga. Dengan membandingkan draf yang dihasilkan oleh AI dengan tulisan manusia, mahasiswa dapat belajar mengidentifikasi dan memasukkan strategi keterlibatan yang efektif, mengembangkan suara unik mereka sambil memanfaatkan bantuan AI.

"Ketika siswa datang ke sekolah, perguruan tinggi, atau universitas, kita tidak hanya mengajari mereka cara menulis, kita mengajari mereka cara berpikir–dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat direplikasi oleh algoritma mana pun," ujar Hyland.

Untuk saat ini, setidaknya, penulisan akademik yang benar-benar menarik tetap menjadi seni manusia. Sementara ChatGPT dapat menyusun fakta dan mengikuti struktur, ia kekurangan pemahaman intuitif bahwa menulis pada dasarnya adalah sebuah percakapan.

Sampai AI dapat benar-benar mengantisipasi dan menanggapi manusia di sisi lain halaman, argumen yang paling persuasif akan tetap berasal dari manusia, bukan mesin. Penelitian ini memberikan wawasan berharga bagi para pendidik dalam menghadapi tantangan era AI dalam pendidikan, serta mengingatkan para mahasiswa akan pentingnya mengembangkan kemampuan menulis yang autentik, yang melampaui sekadar penyusunan kata-kata yang benar secara gramatikal.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement