Ahad 25 May 2025 12:50 WIB

Kenali SVT, Gangguan Irama Jantung yang Bisa Dialami Usia Muda

SVT ditandai jantung berdetak sangat cepat sering muncul tiba-tiba dan hilang

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kesehatan jantung (ilustrasi)
Foto: freepik.com
Kesehatan jantung (ilustrasi)

AMEERALIFE.COM,  JAKARTA — Detak jantung yang tiba-tiba berdebar tanpa sebab yang jelas, terutama saat tubuh dalam keadaan istirahat, dapat menjadi sinyal awal adanya gangguan irama jantung atau aritmia. Meski kerap dianggap sepele, gangguan itu bisa mengancam nyawa, terutama di usia muda yang tampaknya sehat.

“Kondisi ini berpotensi serius dan memerlukan penanganan medis yang tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut,” kata Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Subspesialis Aritmia Dony Yugo Hermanto, Kamis (22/5/2025).

Dokter spesialis di Rumah Sakit Siloam TB Simatupang itu mengatakan, gangguan jantung ini tidak hanya dialami kalangan lanjut usia, tetapi juga berpotensi terjadi pada orang yang masih muda.

Salah satu aritmia yang kerap muncul adalah Supraventricular Tachycardia (SVT). Pada kondisi ini, jantung berdetak sangat cepat sering muncul tiba-tiba dan hilang sendiri, membuat ini susah untuk terdeteksi.

“Jika ini dibiarkan dalam waktu lama, komplikasinya dapat mengakibatkan gagal jantung, stroke, hingga kematian,” jelas dia.

Obat-obatan, kata Dony, tidak bisa menuntaskan masalahnya. Menurut dia, yang efektif mengatasi SVT adalah prosedur ablasi, yang bertujuan mengatasi jalur listrik abnormal di jantung secara permanen.

“Dengan mencari dan menonaktifkan jaringan listrik berlebih tersebut. Proses ini dilakukan dengan pemanasan menggunakan energi frekuensi radio untuk menghentikan aktivitas listrik abnormal di area yang bermasalah,” kata dia.

 

Menurut Dony, prosedur ablasi punya tingkat efektivitas yang tinggi dalam mengatasi SVT, yakni sekitar 90-95 persen. Sementara itu, pengobatan dengan obat-obatan bertujuan untuk menekan aktivitas listrik dari jalur atau generator tambahan di jantung, namun tidak menghilangkan sumber gangguan tersebut.

“Fungsi obat hanya mengontrol tapi tidak mengatasi masalah. Akibatnya, risiko kekambuhan tetap tinggi, dan efektivitas pengobatan dengan obat diperkirakan hanya sekitar 20 persen,” jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement