Selasa 10 Jun 2025 14:45 WIB

Fenomena Friendlessness, Kata Siapa Bikin Gak Bahagia?

Kebahagiaan hidup tidak selalu bergantung pada jumlah teman yang kita miliki.

Red: Qommarria Rostanti
Wanita tidak punya banyak teman (ilustrasi). Kebahagiaan hidup tidak selalu bergantung pada jumlah teman yang kita miliki.
Foto: Republika.co.id
Wanita tidak punya banyak teman (ilustrasi). Kebahagiaan hidup tidak selalu bergantung pada jumlah teman yang kita miliki.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Fenomena friendlessness atau "tanpa teman" menjadi semakin umum. Di Amerika Serikat misalnya, data menunjukkan bahwa persentase orang di sana yang melaporkan tidak memiliki teman dekat meningkat drastis, dari 3 persen pada 1990-an menjadi 12 persen pada 2021.

Sering kali, ketika mendengar kata "tanpa teman", pikiran kita langsung melompat ke arah kesepian, kegagalan sosial, atau kekurangan emosional. Padahal, "tanpa teman" tidak selalu berarti demikian.

Baca Juga

Dilansir laman Psychology Today pada Selasa (10/6/2025), sebuah studi terbaru pada 2025 yang diterbitkan dalam Canadian Review of Sociology menawarkan pandangan yang lebih mendalam mengenai hal ini. Para peneliti mewawancarai 21 orang, dengan rentang usia 18 hingga 75 tahun, yang mengidentifikasi diri mereka memiliki sedikit atau bahkan tidak punya teman. Hasilnya cukup bervariasi.

Meskipun beberapa partisipan menggambarkan kondisi tanpa teman sebagai sesuatu yang menyakitkan, ada juga yang justru merasakan hal sebaliknya. Ambil contoh Mike, seorang pensiunan polisi berusia 72 tahun.

Ia dengan santai menyatakan, "Saya adalah teman terbaik saya sendiri. Saya punya banyak hobi. Saya tidak menghabiskan banyak waktu memikirkan (tanpa teman)". Jawaban Mike ini membuka perspektif baru bahwa kesendirian tidak selalu identik dengan kesedihan atau kekurangan.

Lantas, apa yang membuat respons terhadap kondisi "tanpa teman" ini begitu beragam? Para peneliti berpendapat bahwa bagaimana kita merasakan kesendirian sangat dipengaruhi oleh narasi budaya di mana kita hidup. Di Amerika Utara, misalnya, ada penghargaan tinggi terhadap kemandirian, namun di sisi lain, kesendirian justru distigmatisasi. Kontradiksi ini sangat terlihat dalam bagaimana pria dan wanita mengalami dan melaporkan kondisi tanpa teman ini.

Pria, misalnya, mungkin cenderung menghindari mengakui kesepian karena hal itu dapat mengancam identitas mereka sebagai individu yang mandiri dan secara emosional tidak mudah rapuh. Salah satu partisipan pria dalam studi tersebut dengan lugas mengatakan, "Karena saya seorang pria, itu tidak terlalu mengganggu saya". Namun, data justru menunjukkan bahwa pria—terutama setelah perceraian—secara statistik lebih mungkin kehilangan ikatan sosial dan menjadi terisolasi.

Sebaliknya, wanita mungkin melaporkan kesepian bahkan ketika mereka memiliki jaringan sosial yang luas. Hal ini bisa terjadi karena mereka sering kali mengemban beban emotional labor dalam merawat atau merasa diremehkan secara budaya seiring bertambahnya usia. Seorang partisipan wanita dalam studi tersebut mencatat bahwa orang sering kali "memandang rendah" wanita tanpa teman, terutama yang lebih tua.

Jika kamu merasa tidak punya teman atau diam-diam memendam rasa malu karena merasa punya "terlalu sedikit" teman, strategi reframing ini mungkin bisa membantu:

1. Sadari tekanan budaya, bukan hanya perasaan

Tanyakan pada diri sendiri. Ketika merenungkan kondisi tanpa teman, apakah perasaan negatif itu murni milik saya, ataukah itu berasal dari apa yang masyarakat katakan seharusnya seperti apa hidup saya?

Kita hidup di dunia di mana "memiliki teman" sering kali disamakan dengan menjadi pribadi yang dicintai atau sukses. Tapi itu hanyalah skenario sosial, bukan kebenaran mutlak. Sean, seorang pengacara berusia 32 tahun yang menjadi partisipan studi, menolak gambaran karikatur orang tanpa teman sebagai "sosiopat gila". Ia mengatakan bahwa ia hanya memprioritaskan metrik lain dari kehidupan yang baik seperti karier dan keluarga.

Kalau kamu sangat fokus pada pekerjaan, tugas merawat orang lain, atau sekadar kehidupan pribadi dan hobi, tanyakan: Apa yang sebenarnya saya pilih sebagai gantinya? Pilihan tersebut mungkin layak mendapatkan penghargaan lebih dari yang Anda berikan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement